Hari ini, Senin 10 November 2014 bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Pahlawan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai, "orang yang menonjol karena keberaniaan dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani." Dengan demikian kalau seseorang dengan pengorbanan penuh keberanian untuk membela kebenaran berarti dapat disebut pahlawan. Sudah pantaskah kita disebut pahlawan?
Bagaimana dengan Bung Karno dan Pak Harto? Bukan berarti dengan menghadirkan dua pilihan tidak ada pahlawan yang lain. Bahkan semua kita dapat saja mendapat predikat pahlawan berdasarkan pengetian istilah di atas. Namun, Pada kesempatan ini saya hanya dapat mengambil contoh dua orang mantan presiden Indonesia, Bung Karno dan Pak Harto.
Mari cermati sejenak Bung Karno dan Pak Harto. Keduanya sama-sama tidak gugur di medan laga. Bung Karno Presiden pertama menduduki jabatannya kurang lebih selama 20 tahun. Pak Harto Presiden kedua menduduki jabatannya kurang lebih 30 tahun. Keduanya sama-sama lumayan lama dapat mempertahankan kedudukan jabatannya. Sebagai presiden, keduanya sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sama-sama juga pernah dimakzulkan dari jabatannya oleh rakyaknya sendiri. Sama-sama pernah menjadi polemik berkepanjangan.
Dari kata kunci pahlawan yang menekankan keberanian dan pengorbanan untuk membela kebenaran saya yakin kedua-duanya berlaku semacam itu. Bung Karno juga pernah disegani oleh rakyat dan dunia internasional karena alasan itu. Pak Harto juga pernah merasakan disegani oleh rakyatnya dan dunia internasional dengan sebutan macan Asia-nya. Bahkan pak Harto pernah mendapat gelar Bapak Pembangunan, Jenderal Besar. Di Indonesia yang pernah mendapat gelar Jenderal Besar hanya dua orang saja. Yaitu Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Besar Mohammad Soeharto.
Kita barangkali sudah keburu memegangi pepatah lama yang mengatakan, "karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga."Â Pepatah itu sepertinya sudah mendarah daging, dan menjadi semacam ajaran yang sakral dalam masyarakat kita. Bahkan mungkin sudah dianggap sebagai ajaran keluhuran budi dan kearifan lokal yang tidak bisa diubah-ubah. Semacam pakem yang harus dipegangi dengan genggaman yang tidak boleh dibuka kepalan tangan itu. Bahkan kalau perlu kepalan tangan itu diangkat tinggi untuk memukul dan menggebuk bersama-sama. Karena itu sulitlah bangsa ini memaafkan kesalahan sekecil apa pun dengan pemimpinnya. Sehingga sekadar memberikan predikat pahlawan malah rela saling bertikai. Karena itu, saya sebagai Kompasianer tidak boleh memaksakan kehendak dan mempengaruhi orang lain untuk memilih salah satu di antara keduanya. Silakan saja predikat seperti apa yang lebih baik untuk keduanya. Menurut Kompasianer tidak ada yang lebih baik untuk keduanya kecuali mendoakan amal baiknya diterima di sisiNya dan kekhilafannya diampuniNya serta dianugerahi tempat di sisiNya penuh kemuliaan. Juga bagi pahlawan lainnya dan kelak bagi kita semua. Imam Muhayat, Bali, 10 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H