Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pemustaka

3 Oktober 2016   14:02 Diperbarui: 3 Oktober 2016   14:06 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Satu bulan berlalu. Kudengar kabarmu merambat dari dering Teselku di pojok kamar itu. Diantara deret tugas yang memenuhi berkas kerjamu. Satu diantaranya sesuai yang kumau. Percakapan kita mulai. Penjelasan kita urai.  Kesepakatan jadi komitmen bersama. Mengirim dua mahasiswi datang di suatu lembaga. Membagi cerita membuat rencana kerja. Pemustaka akan beraksi menata sesuai dengan ilmunya.

Sesuai janjimu sebelumnya. Mereka akan berangkat menuju Pulau Dewata. Sabtu siang berlabuh di tempat tujuan. Kujemput mereka setelah turun dari kendaraan. Menuju tempat persinggahan. Kiranya maklum jika ada yang tidak sesuai harapan.

Di tangan mereka aku labuhkan harapan. Setelah ditempa cukup waktu di kampus putih. Selalu kuyakini sepenuhnya, mereka dapat mengatasi birih-birih yang mungkin terasa pedih. Seperti dokter yang ditunggu datang. Selalu memberi ketenangan pasiennya yang sedang menjelang kehidupan.

Pemustaka, di dadamu, hanya ada tautan visi manusia mesti selalu membaca. Meski di tanah ini masih asing budaya membaca. Dengan kepiawaianmu membuat rencana, merias suasana, hadirkan panggung bacaan yang luar biasa. Mereka tak ragu, lagi terpesona dengan keriangan di ruang baca.

Ruang baca mesti ramai peminatnya. Perpustakaan sudah semestinya dapat menjadi panggung pertunjukan.  Sebagaimana suatu pagelaran dapat menyedot massa karena kepiawaian biduan dengan kostumnya penuh pesan-pesan percakapan. Karena kesepian pustaka menjadi momok sebuah negeri yang berkeadaban.

Jika nanti perpustakaan ramai seperti meriahnya panggung pertunjukan. Pastilah sekolah-sekolah akan lebih berperan penunjuk arah yang dapat dipertanggung jawabkan. Negeri banyak dihuni para bijak bestari. Arahkan anak Ibu Pertiwi kaya bekal nurani. Membela negeri sepenuh hati. Karena nurani tak pernah mati meski ditebang putus sedasar pijak kaki.

Rumah Pustaka, 03.10.2016. Puisi: Imam Muhayat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun