Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi Imam Muhayat Dalam Catatan Pecinta Sastra

15 Februari 2016   19:36 Diperbarui: 15 Februari 2016   20:14 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika suatu karya itu hadir di hadapan pembaca, tentu sebelumnya terdapat proses cukup waktu yang harus dilaluinya. Di antaranya lewat deret renungan, melintasi rentang jeda waktu, jelajah tempat kreatif, pencermatan, dan pengendapan ide. Belum lagi manakala suatu karya itu akan dipublikasikan secara luas, dalam bentuk buku, misalnya, tentu tak luput dari sejumlah sentuhan ide dari berbagai pihak sebagai prasyarat agar dapat lebih menarik dan layak untuk konsumsi publik. Diharapkan dapat memberikan makna yang lebih berarti.

Seperti sejumlah puisi-puisi Imam Muhayat, di antara karya tersebut tidak jarang diproses melalui diskusi dari pecinta, pemerhati, pengamat seni budaya. Baik otoritas dan kompetensi mereka sebagai penyair, ilmuan, dan budayawan untuk membedah pikiran-pikiran penyair. Dalam telisik diskusi itu, suatu saat, pernah dikemas dalam ide besar dari Dasa Susila Kanjeng Sunan Kalijaga, sebagai upaya lebih lanjut pemahaman-pemahaman kultur dan ide besar dari pemikir-pemikir sebelumnya. Berikut ini catatan diskusi semacam itu sebagai bentuk kesaksian mereka terhadap sebagian hasil  karya cipta penyair, Imam Muhayat, di bawah ini:

Berangkat dari ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Dasa Pitutur yang pertama adalah: “Urip iku urup.” Hidup itu bersinar. Seperti  matahari yang selalu bermanfaat bagi segenap kehidupan. Semakin terang sinarnya, maka semakin baik dan besar gunanya bagi lingkungan. Karenanya hidup kita itu hendaknya selalu memberi  manfaat kepada orang lain yang ada di sekitar kita. Dalam Episode Alam Raya terungkap: pada saatnya nanti/yang hancur lebur ini akan lama tertidur/bangkit gaduh seperti tentara bertempur. Dalam Cakrawal diuraikan: menguasai ruang dan waktu/sejak awal/tidak sempit membingkai lukisan wajahmu/. Di mana pun adanya, Sudut Perkotaan? selalu: bercengkerama riuhnya tarian kaki anak-anak/dalam lingkaran langkah-langkah ikatan/.

Bukankah setiap, Percakapan Musim ada: saatnya berpeluk mesra/untuk menyuburkan persemaian kandungan/nadi kehidupan yang kian tangguh/. Betapapun beratnya memang harus ditempuh, seperti pada Jejak Langkah Menuruni Gunung,: lumpur adalah nyanyian/air adalah irama/flora melodi kehidupan/fauna rimba puisi hidup/tak pernah lepas ritual mimpi penantian manusiaku/. Katanya pada, Catatan Buat Anak-anakku,: raihlah impian itu/dengan keyakinan penuh ridha Ilahi/dalam genggaman eratmu yang tak mungkin lepas lagi/hingga kesadaran hidup ini tak lagi bersarang dalam diri. (Dr. Dian Iskandar Jaelani, dalam catatannya dalam sejumlah karya penyair. Jaelani adalah alumni Program Doktoral UIN Maliki, Malang. Karya monomentalnya berjudul Manajemen Profetik. Ia adalah pecinta seni-budaya, pernah mengikuti Writing Program on the Arabic poetry di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Tinggal di Lombok Barat).

Mengambil hikmah pada pituturnya yang kedua, beliau kanjeng Sunan memeras kata-katanya: Memayu hayuning bawono. Ambrasto dur angkoro. Kehidupan kita ini harusnya tidak pernah sepi dari ikhtiar mewujudkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta siap menghadapi dan melawan keangkaramurkaan, keserakahan, dan ketamakan. Karena ketiga sifat buruk tersebut akan menghalangi tercapainya hakekat tujuan hidup.Yakni: indahnya kesemestaan/semuanya adalah wujud sempurna ciptaan, demikian Zikir Alam Semesta. Siapa gerangan di balik semua yang ada ini semua? Dialah Yang Maha Kuasa, kata Imam dalam sajaknya. Terkadang untuk mencapai itu banyak halangan. Tapi memang harus selalu diperjuangkan. Lihatlah, Simfoni Besi dan Beton-nya: panjat tangga ini/gerak langkah semakin melangit/agar kian mendekat pada ketinggian/menuju tahta keagungan. Kesesakan Dada, tidak bersua hingga dapat: memuluskan jalan kepulanagan akhir/bagi siapa saja yang pernah lahir.

Tidak seperti dalam Cosgrave in a Day: jiwa api/gunung lalai/gunung api menyapu jiwa-jiwa/pada akhir penggalian liang/tak pernah lagi ada yang dikuburkan. Sebab, setetes, Air Mata Ibu Hawa, seperti tsunami yang menyapu seluruh negeri pada: /setiap percikan darah tak terbendung lagi/. (Catatan terhadap karya puisi Imam Muhayat dari: Gus Solihin Amoun, pernah menempuh studi S-2, di Universitas Liga Arab (Alesko), dan Jami’ah Amrikiyah Maftuhah (Sastra Arab) Cairo, Mesir. Kini sedang menempuh Program Doktoral-penyelesaian Disertasi di UIN Maliki, Malang. Hasil karya tulis berupa buku diantaranya: Air Mata Kerinduan, Sufi Dipersimpangan Jalan, Hantu Gadis Penunggu Sungai Nil, Lelaki Abadi, Kuntilanak Penunggu Rumah Tua, Honda 70, Selasih, dan Surau Tua. Buku paling gres yang dalam bentuk antologi ilmuan berjudul, “Studi Islam Interdisipliner.”  Kini tinggal di Lampung).

Menyimak Pitutur ke-tiga, dari beliau penyebar Islam di tanah Jawa ini berbunyi: Suro diro joyo jayaningrat. Lebur dening pangastuti. Suatu keniscayaan dalam segenap kehidupan dari zaman ke zaman selalu ada kebaikan dan keburukan yang tidak pernah berhenti sampai hari akhir nanti. Kenistaan ternyata tidak selamanya akan baik manakala dibalas dengan keculasan. Seperti sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya akan dapat dikalahkan dengan sikap yang bijak, lembut hati, dan sabar. Karena sifat emosi selalu akan membuat langkah-langkah semakin tak teliti, jeli, dan terkendali. Akhirnya, gagal-lah muara alir yang dikehendaki. Demikian simpul-simpul isi syair penyair yang direkam pada beberapa judul di antaranya: In Hayat Reflection, Doa Kita, Suara Kecil Dari Anak Negeri, Pencarian Tiada Akhir, Daun-daun Berbisik, dan Irama Kekinian. (Catatan ini berasal dari Afiful Ikhwan, M.Pd.I: Dosen STAIM Tulungagung, Mahasiswa Prograqm Doktoral UIN Maliki, Malang. Karya tulis telah merambah berbagai jurnal, dan buku yang sudah terbit Ulumul Qur’an, dan Kurikulum Pendidikan. Kini tinggal di Tulungagung Jawa Timur).

“Edan! Model pengumpulan informasi pak Imam,” katanya. Pencarian respon tulisannya terkadang dikemas dalam falsafah Jawa Kuno-nya Kanjeng Sunan Kalijaga. Kepak diskusi ringan di sela senggang ngaji pitur ke-empat Sang Wali pada Ngluruk tanpo  bolo. Menang tanpo ngasorake. Sekti tanpo aji-aji. Sugih tanpo bondo. Adalah, segenap keluhuran hidup, selalu didasari dengan kemuliaan suatu gerakan. Maka sikap pejuang beneran adalah berjuang tanpa membawa barisan. Menang tanpa merendahkan dan mempermalukan. Berharkat bukan didasari pangkat, dan derajat. Tapi memang dengan kekuatan ikhtiar yang hebat. Kekayaan yang dimiliki tidak cenderung menghinakan pribadi dan di luar diri. Ini simpulan sementaraku, katanya, yaitu pada puisi yang berjudul: Pita Merah Putih, Depan Rumahku, Prasasti di Sudut Kotaku, Analogi Besi Tua, Mihrab 2, Entri Zaman. ( Catatan dari: Dr. Novena Ade Fredyarini Sudjiwo, Doktor Linguistik Universitas Udayana, Denpasar, kini staf pengajar di STAI Denpasar, Bali. Pengamat Budaya Bali konsentrasi linguistik).

Doktor Majid Wajdi saat disodori puisi penyair hubungannya dengan piwulang Sang Wali dalam Datan sirik lamun ketaman. Datan susah lamun kelangan. Sergahnya lirih: musibah dan sedih merupakan kesatuan sifat manusiawi. Bagi orang yang bijak akan selalu mengambil hikmah. Ia tidak mudah sakit hati manakala musibah dialami. Ia tidak sedih manakala kehilangan sesuatu yang sangat dicintai. Baginya, kelapangan hati merupakan sarana untuk meraih kembali yang sudah tidak ada lagi. Coba simak pada suara: Saudaraku, Gelisah, Empati Nafas, Kecermatan, Kesadaran, dan Simbol Kekuatan menjadi kata kunci senafas petuah Sang Wali seperti adanya sendiri: /sementara aku tertegun/di mana gerangan/bakal aku hunuskan/tajamnya kecermatan. (Catatan dari: Dr. Majid Wajdi, Dosen Linguistik pada Politeknik Negeri Bali, pengurus MUI, Kabupaten Badung, dan pengurus FKUB, Kabupaten Badung, Bali).

Beberapa karya penyair, Imam Muhayat, bisa jadi memperkuat temuan petuah Sang Wali: Ojo gumun. Ojo getunan. Ojo kagetan. Ojo aleman. Jamaknya manusia di zaman kekinian, ia mudah terhanyut pada fenomena dan realitas karena hasrat yang tak terkendali. Satu-satunya sikap yang terhormat adalah tidak mudah terheran-heran, terperangah, tetapi tidak boleh juga lengah. Jangan mudah menyesal, karena sesal kemudian tiada arti. Berbenah itu akan berimplikasi baik sebelum melangkah. Jangan mudah terkejut-kejut, bukankah keterkejutan akan memuluskan hilangnya kesadaran. Apalagi sikap manja,  zaman kayak gini, sifat seperti itu mesti ditebas mati. Mungkin akan kita temukan simpul-simpul pesan penyair pada tema Kolektor Lukisan, Memori Lukisan, Hayat Gallery, Derita Membalut Luka, Tangan Dingin. Dan pada puisi Bayang-bayang menguatkan kesaksiannya: /jika hendak iringi waktu/bayang-bayang mesti tak ikuti jejak maju/tapi, langkahnya selalu mengiringi/pada tempat penantian yang kita rindukan/. (Catatan dari: Moh. Subhan, Dosen Manajemen Pendidikan Islam pada Universitas Islam Madura, Anggota KPU Kabupaten Pamekasan, Madura. Aktif di berbagai kegiatan social keagamaan. Kini sedang menyelesaikan Disertasi pada Program Doktoral di UIN Maliki, Malang, tinggal di Madura).

Saran Kanjeng Sunan di zaman Kaliyoga ini masih relevan: Ojo ketungkul marang kalungguhan, kedonyan, lan kemareman. Bukan rahasia umum, bahwa di zaman sekarang ini obsesi banyak orang menjadi hiruk pikuk hidup untuk meraih puncak pijak tertinggi. Kadang dicapainya tanpa menghiraukan indahnya nurani. Akibatnya, kebencian, kenistaan, dan kebobrokan moral mudah menjilma sikap dan perangai tidak terpuji, perang sebagai aksi untuk mendominasi. Semua itu tidak lain karena tahta, harta, dan mahkota. Hingga darah dan air mata seperti dilihatnya hal yang biasa-biasa saja. Berobsesi-lah seteguh diri, agar tidak kehilangan akal budi. Maka, Ketuk Pintu-pintumu. Lapangkan langkah ke Pulau Harapan. Tidak hanya Datang dan Pergi. Tapi, Labuhkan Pilihan. Betapapun Pacuan Ombak terus menggempur. Hanya dengan keteguhan itu kiranya hidup menjadi makmur. Karena tanpa gaerah Pacuan Ombak itu aku lelehkan air mata. Seperti suara Imam pada kata-katanya: nelayan kelak tak lagi dapat berbagi/ Walau sekadar tawarkan nilai untuk keperluan sehari/. Mengapa bisa terjadi? /karena darah kata hilang dari peduli lingkungan yang lestari untuk esok hari/. Tentu imbasnya meliuk-liuk di sana sini,  tukas, Petikan Ceramah Matkulitur dari Prof. Muhaimin kepada Para Mahasiswanya. (Catatan dari: Mukhlis Fakhrudin, Dosen Fakultas Saintek, dan mahasiswa Program Doktoral UIN Maliki, Malang. Asal Lamongan Jawa Timur. Kini tinggal di Malang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun