Mukadimah ( A )
Mengawali penjelasan judul di atas, maka perlu kiranya penulis memberikan penjelasan tentang definisi hadis sebagai berikut:
"Hadis ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir dan lainnya)".
Tradisi intelektual muslim memandang Hadis sebagai salah satu bagian daari sumber hukum setelah Al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai kitabullah yang menerangkan tentang berbagai macam petunjuk, betapa pun di dalamnya terbuka sarat dengan hermeneutika spiritual (tafsir, takwil dan tafhim), tetapi tidak sedikit ayat-ayat-Nya yang bersifat mujmal. Kemudian secara tafsili dapat ditemukan pada Hadis Rasulullah S.A.W.
Secara hierarkhi dogmatis (fenomenais?) kodifikasi sumber hukum, maka hadis menempatkan posisinya sebagai penguat dan penjelas serta penetapan segala hal tentang hukum dan keterangan lain yang tidak dicantumkan dalam al-Qur'an. Hal itu disebabkan di antara ayat-ayat Al-Qur'an masih terdapat ayat-ayat yang mujmal dan mutlak.
Al-Qur'an dan Hadis sebagai institusi normatif sumber petunjuk dari segala sumber hukum Islam dan referensi seluruh aktivitas kehidupan muslim, maka dalam konsep spiritual hermeneutik akan mengarahkan fitrah muslim yang kaffah. Sebagaimana orang muslim yang kaffah Iqbal melukiskan pribadi muslim sebagai berikut:
"Fitrah seorang muslim adalah rahmah. Rahmah itu sendiri mempunyai tangan dan lidah di dunia ini. Dan Rasulullah S.A.W. diutus sebagai rahmah bagi seluruh alam semesta. Karenanya, apabila engkau jauh dari Sunnahnya, engkau tidaklah termasuk golongan kami."
Implementasi sumber hukum itu dalam aktualisasinya sebagai muslim yang kaffah, konsekuensi logis idealis muslim adalah merapatkan hidup antara ucapan, gerak, reaksi dan aksi berlandaskan pada kedua sumber itu. Mereka memotivasi dinamika dan aktualita dalam gerak hidup. Sebagaimana Iqbal selanjutnya menandaskan dalam kata puitisnya:
"Engkau adalah burung dalam kebun kami. Engkau berkicau dengan kicau kami. Apabila engkau suka menyanyi, maka bernyanyilah dalam kebun kami. Setiap segala sesuatu yang hidup akan dihancurkan oleh unsur-unsur yang kontradiksi dengannya. Apabila engkau ingin menjadi bulbul, dalam tamanlah tempat terbang dan kicaumu. Apabila engkau ingin jadi pemburu, padang pasir-lah arenamu dan tempat perburuanmu. Dan apabila engkau ingin jadi bintang maka bersinarlah pada garis edarmu dan jangan kau langgar planet-planetmu."
Puisi religious Iqbal ini melukiskan koherensi positif aktualisasi pribadi muslim yang utuh dalam teks-konteks, qauliyah dan kauniyah teraplikasi dalam suatu ajaran suatu kepribadian. Suatu ajaran yang diposisikan sebagai nilai-nilai, mereka itu akan menuai karakter kepribadian muslim, tujuannya untuk menghindarkan kenistaan, baik bagi maupun individu dan orang lain.
Kapabilitas muslim dalam memasuki kajian tehadap nilai-nilai dan khasanah disiplin keilmuan dalam Islam, dalam hal ini berhubungan dengan periwayatan Hadis, muara ideal yang mutlak dicitrakan secara akumulatif bagi sang Perawi Hadis adalah niat mencari hakekat kebenaran otentik Hadis tersebut. Skala prioritas utamanya adalah niat para Perawinya.
Ada pun niat baik yang dimaksud penulis tersebut diantaranya sebagai berikut ini: 1). Untuk mendapatkan keridhaan Allah dan kebahagiaan di kampong akhirat (رضا الله والد ر الاخرة), 2). Menghilangkan kebodohan pada dirinya sendiri dan kebodohan pada umumnya (إزالة الجهل عن نفسه وعن سائر الجهال)), 3). Untuk menghidup-hidupkan agama dan melanggengkan Islam (إحياء الدين وإبقاء الاسلا م). Demikian niat utama bagi Perawi Hadis, dan sesungguhnya dapat menjadi identifikasi dan dimiliki bagi setiap muslim.
Latar Belakang Hadis ( B )
Terkait dengan kemurnian Hadis sebagai perkataan, perbuatan dan suasana yang dialami oleh Rasulullah S.A.W., maka nantinya suasana psikologis muslim (kaffah), akan diperlukan dalam konteks sistim perawian Hadis dan menjadi keperingkatan dan juga acuan perjuangan para sahabat Nabi dalam upayanya mengumpulkan Sunnah Rasul yang otentik. Rasulullah S.A.W. telah mengingatkan kepada kaum muslimin (kaffah), tentang kemungkinan penulisan, pemalsuan Hadis. Tujuannya untuk memposisikan Al-Qur'an tidak dicampur-adukkan, dipertentangkan dengan Sunnah Rasulullah S.A.W.
Dalam ungkapan tegas dalam buku, History of Islamic Philosophy terungkap: "Dalam hubungannya antara Al-Qur'an dan Hadis, batang tubuh kumpulan tradisi Nabi ini berkaitan langsung dengan dimensi dalam atau esoteric wahyu dalam Islam, dan bagian-bagian tertentu ucapan Nabi menunjuk langsung tingkat-tingkat esoteric makna Al-Qur'an. Sabda Rasulullah S.A.W., "Hendaklah kamu menghindari banyak menyampaikan hadisku. Maka barangsiapa yang berkata atas nama diriku hendaklah ia berkata yang hak atau benar. Dan barangsiapa yang mengada-ada atas namaku tentang sesuatu yang aku tidak menyampaikannya, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka".
(اياكم وكثرة الحديث عنى فمن قال علي فليقل حقا اوصدقا ومن تقول علي مالم أقل فليتبوأ مقعده من النار)
Di sisi lain Rasulullah juga menghargai para penganjur Hadis, sebagaimana yang diwartakan oleh Ibnu Abbas r.a., ujarnya: قال رسول الله صلعم: اللهم ارحم خلفاني, قلنا يارسول الله ومن خلفانك قال: الذي يروون احاديثي ويعلمونها الناس(الطبراني). "Rasulullah S.A.W. berdoa: "Ya Allah, rahmatilah khalifahku" Hai Rasulullah, siapakah khalifah tuan? Tanya kami, "Yaitu orang yang pada meriwayatkan hadis-hadisku dan mengajarkannya kepada masyarakat" Jawab Nabi (HR. At- Tabrany).
Hadis di atas menunjukkan dualism kausalitas fenomenal penulisan Hadis. Satu sisi Rasulullah menolak penulisan Hadis. Pada kesempatan lain Beliau memberi signal positif berprasyarat penulisan Hadis. Antara boleh dan tidak dalam penulisan Hadis. Dengan demikian dapat menguatkan, bahwa dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat banyak prinsip-prinsip teologis sakral. Di antaranya dimensi eksternal (syariat) dan dimensi internal (hakikat), di mana keduanya merupakan jantung semua yang islami. Keduanya dipandang sebagai sumber makrifat (ilmu pengetahuan) dan hakikat (kebenaran tertinggi), maka jadilah sumber hukum dalam Islam.
Dengan demikian akan mendasari suatu tesis, bahwa sebagai utusan Allah, maka perkataan, perbuatan dan suasana hati Rasulullah selalu dipertunjuki petunjuk yang datang dari Allah s.w.t., maka barangsiapa yang memalsukan Hadis Rasulullah sama halnya pengingkaran terhadap kitabullah yang menjadi petunjuk-Nya. Rasulullah S.A.W. bersabda:
أيحسب أحدكم إذاكان يبلغه الحديث عني متكا على أريكته أن الله تعالى لم يحرم شيأ الا مافي هذا القرأن الا واني والله قد امرت ووعظت ونهيت عن اشياء إنها كمثل القرآن او أكثر
"Apakah salah seorang di antara kalian mengira bahwa jika sampai kepadanya Hadis dari aku, dia (dapat) duduk bersandar di kursinya (diam, pasif) padahal Allah tidak mengharamkan sesuatu melainkan apa yang ada di dalam al-Qur'an. Ketahuilah, sesungguhnya aku demi Allah telah menyuruh, melarang dan menasihati sesuatu seperti al-Qur'an atau lebih banyak."
Otentisitas terhadap sunnah Rasul sebagai bagian dari petunjuk Allah telah dilakukan kajian kritis oleh para sahabat Nabi. Para periwayat Hadis selalu meneliti dari berbagai sudut teoritik perhadisan, demi mendapatkan orisinalitas kebenaran suatu Hadis. Syarat-syarat, seperti, muttasil; dhabit, tsiqah dan tidak terkana illat, sebagai penjagaan hadis dengan disiplin teoritik intelektual akademik suatu perawian hadis. Rasulullah membuat pernyataan dengan tegas, bahwa Allah akan menghukum bagi seseorang atau kaum yang memalsukan hadis dengan azab yang pedih, dengan sabda Beliau: "Berbicaralah kalian tentang hadis dan bersiap-sedialah, siapa yang berdusta atas namaku tempatnya di neraka jahamam". تحدثوا واليتبوأ من كذب علي مقعده من جهنم
Abstraksi Simbol Islam dalam Pribadi Rasulullah S.A.W. ( C )
Rasulullah lahir pada tanggal 20 April 571 M dan wafat pada 632 M. beliau belum pernah melakukan berbagai dosa jahiliyah dan perbuatan tercela selama hidupnya. Dikenalnya sebagai orang yang suci, bebas dari dosa (maksum). Pada zaman jahiliyah beliau dipanggil masyarakatnya sebagai orang dengan sebutan Ash-Shiddiqul Amin (yang jujur, dapat dipercaya). Dalam sejarah tercatat, kecerdasan intelektual Rasulullah telah terbukti kebenarannya. Beliau mampu menyelesaikan pertikaian antar suku, saat peletakan Hajar Aswad, sehingga dapat terhindar dari pertikaian dan penghancuran. Dalam diktum psikologis, realitas tersebut telah membentuk kepribadian cerdas dan integritas pribadi yang paripurna. Al-Asakari dalam Ibnu As-Sam'ani meriwayatkan dari Rasulullah S.A.W: "أدبني ربي فأحسن تأدبني Tuhanku telah mendidikku dengan pendidikan yang baik".
Muhammad S.A.W. diangkat menjadi Rasul ketika umur 40 tahun. Pada umur tersebut Beliau sering mengadakan tahannut. Tepat pada bulan Ramadhan, Rasulullah mengadakan uzlah tidak seperti biasanya. Beliau mempersiapkan bekal yang cukup, agar dapat berlama-lama dengan muhasabbah dan muraqabahnya. Dalam suasana hening itu, sering mendapat arra'yu ash-shiddiqah (bermimpi yang benar) . berlanjut mendapat wahyu dari Allah s.w.t. sebagai awal diangkatnya Muhammad S.A.W. sebagai seorang Rasul dengan ayat pertama dengan, "iqra". Baca, selidiki, gali, kaji dan alirkan ke tepian hingga muaranya.
Al-Qur'an sebagai kitab suci diturunkan kepada Muhammad S.A.W., secara berangsur-angsur selama 23 tahun, dengan durasi waktu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Jasa besar yang telah dikerjakan oleh Zaid bin Tsabit, atas perintah Abu Bakar r.a., al-Qur'an dapat dibaca hingga kini dengan segala otentisitasnya. "إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظونSesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya".
Selama turunnya al-Qur'an ini, Rasulullah selalu menyampaikan wahyu kepada umatnya. Maka hal-hal yang kurang jelas dan berbagai permasalahan yang ditemukan yang tidak terangkum dalam al-Qur'an itulah kemudian Beliau menjelaskannya dengan ucapan, perbuatan dan tqrir yang lazim disebut dengan Sunnah, Al-Atsar, Hadis Rasulullah S.A.W. Inilah maka kemudian manakala yang ber-Islam tidak mengakui Muhammad S.A.W. sebagai Rasulullah jelas berposisi bukan menjadi orang Islam. Jadi apabila tidak mengakui Beliau Rasulullah S.A.W. memang seharusnya tidak menyebut kelompok, golongan dan berpribadi sebagai orang Islam. Sehingga tidak menimbulkan balak karena dianggap melecehkan eksistensi Islam.
Keadaan setelah Rasulullah S.A.W. ( D )
Rasulullah wafat pada 632 M. setelah Beliau wafat, keadaan umat Islam terdapat percepatan perubahan. Ini menunjukkan ketika Rasulullah masih bersama umatnya, permasalahan-permasalahan yang mengemuka langsung dapat dipertanyakan langsung kepada Rasulullah S.A.W. sebaliknya, setelah Beliau wafat, maka banyak masalah-masalah menjadi perbincangan dan bahkan membawa banyak perbedaan, perpecahan dan pertikaian di kalangan Islam sendiri.
Permasalahan internal Islam terjadi sejak zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. terkristal hingga jauh waktu yang mulai membukit pada zaman selanjutnya, hingga terbunuhnya Umar bin Khattab, juga akhirnya terbunuhnya Ali bin Abi Thalib r.a. pada 661 M. kemudian mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Muawiyah, yaitu dengan ditandai lahirnya berbagai macam aliran dalam Islam. Diantaranya, Ahlussunah wal Jamaah, Khawarij dan Tatsawuf, Syiah, Mu'tazilah, Murjiah, Qodariyah, Jabariyah serta masih banyak lainnya. Ada di antara mereka mengkompromikan antara aliran satu dengan lainnya. Dan masih ada yang toleran. Atau malah berbeda sama sekali yang semua itu menjadi awal isme-isme teologik yang hingga kini mewarnai Islam. Namun yang disayangkan lagi tidak sedikit yang cenderung merusak esensi ajaran dalam Islam itu sendiri.
Gejolah teologi Islam, dengan kondisional umat Islam yang melahirkan berbagai macam isme, maka dalam perkembangan selanjutnya ternyata semakin bias dan keluar dari koridor sendi-sendi dalam Islam. Kekhawairan tersebut sangat beralasan, sebab progresivitas masing-masing isme tersebut semakin menajamkan kepentingan dan pembelaan kepentingan tersebut ternyata kian mengarah pada klaim pembenaran yang disandarkan kepada Sunnah Rasulullah.
Melihat fenomena demikian, maka kemudian khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M) memerintahkan untuk membukukan Hadis. Disusul oleh khalifah pengganti Abu Ja'far Al-Mansur. Di antara tokoh-tokoh yang termasyhur dalam membukukan hadis ialah Imam Malik bin Anas (713-789 M), Imam Bukhari dan Imam Muslim yang membukukan hadis-hadis Shahih saja. Sedangkan seperti Imam Ibnu Hambal, At-Turmudhi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan An-Nasai, karya-karya mereka sebagai induk kitab-kitab Hadis yang disusun kemudian. Di samping hal tersebut, para pemimpin Islam dan intelektual muslim semakin menaruh perhatian khusus terhadap pembukuan dan penelitian tentang Hadis. Sehingga perlu membuat pedoman spesifik untuk menetapkan klasifikasi per-Hadis-an dalam konteks yang tepat. Akhirnya muncullah ilmu Musthalah Hadis, yang dapat menyelamatkan Hadis dari kepentingan golongan dan pemalsuan dari orang Yahudi dan kaum Zindiq.
Klasifikasi Hadis Shahih ( E )
Dalam skema yang telah disusun oleh para ulama Hadis, bahwa Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif adalah termasuk klasifikasi Hadis Ahad. Dalam penulisan ini penulis hanya membahas tentang Hadis Shahih dan Hadis Hasan karena hal itu terdapat indikasi korelatif dan banyak ulama mengkorelasikan dengan al-Qur'an diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut:
Definisi Muhadditsin menurut Ibnu Ash-Shalah mengatakan: الحديث الصحيح هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضبيط عن العدل الضبيط الى منتهاه ولايكون شاذا ولا مطلا Hadis shahih adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu'allal (terkena illat). Definisi Imam Nawawi yang meringkas definisi As-Shalah Beliau merumuskan: هو مااتصل سنده بالعدول الضبيتون من غير شذوذ ولا علة Hadis Shahih adalah hadis yang mutashil sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz illat. Muhadditsin sendiri merumuskan Hadis shahih sebagai: ما نقله عدل تام الضبيط متصل السند غير معلل ولا شاذ Hadis yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawy yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berilat dan tidak janggal.
Kesimpulannya adalah bahwa hadis shahih adalah hadis yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: Sanatnya bersambung-sambung. Para perawinya adil dari awal hingga akhir. Dhabit perawinya, sadar dan mempunyai ingatan tinggi dari lafadz dan maknanya dalam pergantian bagaimana pun tetap tsiqot juga. Tidak berilat dan tidak janggal.
Untuk mendapatkan klasifikasi Hadis shahih ini, maka ada pembagian khusus tentang Hadis shahih ini. Yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Shahih lidzatihi berarti mempunyai syarat maksimal seperti tersebut di atas. Sedangkan shahih lighairihi, dikarenakan adanya kekurang sempurnaan perawi pada kedhabitannya (kadar intelektualnya masih rendah).
Karena itu untuk menempatkan posisi Hadis sesuai dengan yang sebenarnya, maka dalam ilmu musthalahul Hadis menempatkan istilah ashahul asanid, di mana para perawi Hadis tersebut memenuhi syarat-syarat qobul secara maksimal dan sempurna berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan para muhadditsin. Adapun ashahul asanid tersebut adalah pertama riwayat Ibnu Syihab az-Zuhri dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari ibn Umar. Kedua, lainnya mengatakan ashahul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A'masy dari Ibrahim an-Nakha'iy dari al-Qomah ibn Qais dari Abdullah ibn Mas'ud. Ketiga Imam Bukhari dan yang lain mengatakan ashahul asanid adalah riwayat Imam Malik ibn Anas dari Nafi' Maulana ibn Umar. Kalangan ulama mutaakhirin berpendapat, dalam ashhul asanid ini diistilahkan rantai emas (adz-dzahab), di mana Imam Ahmad adalah merupakan perawi penting yang telah meriwayatkan dari Imam Syafii dari Imam Malik dari Nafi' dari Ibn Umar r.a.
Menurut Imam An-Nawawi dan Ibnu Shalah tidak membenarkan menilai sanad Hadis dengan ashahul asanid, atau menilai matan Hadis dengan ashahul Hadis secara mutlak. Mereka menganjurkan supaya dalam penilaian ashahul asanid itu secara muqayyad, yaitu berdasarkan sahabat tertentu, penduduk dan pembagian bab tertentu dalam tema pembahasan Hadis.
Sebagaimana kriteria shahih berdasarkan para Imam Hadis, misalnya, Imam Bukhari (1944-256 H) para muhadditsin menilainya bahwa Imam Bukhari mempunyai kecerdasan tinggi terhadap keilmuan Islam, khususnya dalam hal perhadisan. Sejak masih kecil beliau telah menghafal banyak hadis. Ia banyak berguru secara langsung dengan para ahli hadis. Berbagai pengetahuan tentang hadis dan latar belakang kesejarahan Rasulullah telah dipelajari. Ia telah mengembara dari negeri satu ke negeri lainnya dalam rangka memperdalam ilmu yang ditekuninya. Bersamaan pelaksanaan ibadah haji pada 210 H, Beliau terus menetap di Madinah untuk menyelesaikan sebuah kitab At-Tarikh al-Kabir. Buku ini sangat mendukung background keilmuan tentang Hadis.
Pemahaman hadis Imam Bukhari tidak diragukan lagi. Pernah pada saat ia mendatangi para guru diuji dengan seratus hadis dengan mengacak antara matan dan sanad. Imam Bukhari dengan ketinggian ilmunya tersebut dapat menjawab dengan tepat, bahkan menempatkan matan dan sanad yang sebenarnya. Kepahaman beliau tentang Hadis tersebut, maka mereka memberikan gelar dengan Amirul Mukminin fil -al-Hadis.
Syarat-syarat Imam Bukhari menetapkan Hadis shahih ialah perawi terkenal dan adil, dhabit dan teguh, kesejamanan (muasyarah), dan liqo' (bertemunya perawi dengan gurunya). Dari terma al-musnad dapat disimpulkan bahwa mentakhrij hadis-hadis yang muttasil sanadnya dengan sahabat ke Rasulullah, baik berupa sabda, perbuaan dan taqrir. Dan hal-hal lain sebagai pembanding atau pada saat tertentu sebagai tujuan pokoknya.
Dalam hal ini Imam Muslim (204-261) dengan keluasan ilmu dan pengetahuan lainnya, beliau dijuluki Hujjatul Islam Abu Al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusairiy an-Naisabury, lahir tahun 204 H. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk menuntut ilmu. Karya-karya yang telah ditulis lebih dari 20 buku yang monumental. Hasil pengembaraan sebagai seorang ilmuan Islam menjelajahi wilayah Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dll, menghasilkan kedalaman ilmunya, hingga dapat mengumpulkan hadis shahih Muslim sebanyak 3030 Hadis dan sekitar sepuluh ribu Hadis yang berbeda sanad-sanadnya.
Sedangkan kriteria Imam Muslim terhadap Hadis shahih adalah muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit dari perawi lain yang adil lagi dhabit pula, sejak awal sampai akhir sanadnya tanpa syududz dan tanpa illat. Berbeda yang ditetapkan oleh Bukhari, kalau Imam Muslim mengenai hal persanadan menghukumi dengan mu'an'an sebagai muttasil. Beliau secara tegas mengatakan bahwa kesejamanan cukup bisa menjadikan suatu riwayat diterima secara an'anah, meski tidak ada riwayat yang valid tentang bertemunya rawi dengan gurunya.
Terhadap hadis shahih Bukhari dan shahih Muslim memang akhirnya banyak para ulama yang memperdebatkan, mana yang didahulukan dan diakhirkan untuk landasan hujjah dalam Islam. Sebagian ulama menyandarkan hal itu dalam makalah sebagai berikut, "orang-orang yang berdebat di hadapanku, tentang Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, mana yang didahulukan. Lalu aku katakan: Shahih Bukhari memiliki kelebihan keshahihan, sedang shahih Muslim memiliki kelebihan baik susunannya".
Klasifikasi Hadis Hasan ( F )
Hadis Hasan adalah hadis yang telah memenuhi beberapa kriteria tentang persanadan hadis shahih, tetapi masih ada sedikit kelemahan perawinya khuss pada kedhabitan perawi hadis. Jumhur muhadditsin mendefinisikan Hadis Hasan adalah sebagai berikut: "Hadis yang dinukil oleh seorang adil, tapi tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya". Dalam makalah lain memberikan penjelasan Hadis Hasan adalah Hadis yang muttasil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan illat. Dari jenisnya, diklasifikasikan Hadis Hasan dengan dua bagian, yaitu Hadis Hasan Lidzatihi dan Hadis Hasan Lighairihi. Sebagai Hadis Hasan Lidzatihi sebagaimana telah tersebut pada syarat di atas. Sedangkan Hadis Hasan Lighairihi berasal dari hadis dhaif, karena banyak penguat lain yang mendukungnya, kemudian naik menjadi tingkatan Hasan Lighairihi. Kedua klasifikasi Hadis di atas dapat dijadikan hujjah dan diamalkan. Sebagian ulama memasukkan kelompok Hadis shahih seperti antara lain al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Namun, bila terdapat Hadis shahih mereka tetap memilih dan memenangkan yang shahih. Hadis shahih telah banyak dimuat dalam buku-buku Sunnan al-Arba'ah, meskipun di dalam kitab-kitab tersebut ada yang shahih, Hasan dan beberapa Hadis dhaif.
Kesimpulan, setelah menguraikan sebagaimana tersebut di atas, maka korelasi al-Qur'an dan hadis utamanya hadis berklasifikasi shahid dan hasan dapat diambil suatu kesimpulan berikut:
Pertama: bahwa pertalian antara al-Qur'an dan Hadis kalau digambarkan dalam skema maka posisi keduanya dalam hierarkhi vertical. Yang menempatkan al-Qur'an sebagai hierarkhi vertical paling atas dan Hadis berada di bawahnya, yang kemudian berfungsi memperjelas isi dalam al-Qur'an yang belum jelas dan tidak boleh bertentangan dengan sumber pokoknya.
Kedua: Hadis disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, sifat-sifat, keadaan-keadaan dan himmah (hasrat) Rasulullah S.A.W.
Ketiga: Rasulullah sebagai utusan Allah s.w.t. , maka para ahli Hadis berupaya menempatkan kebenaran asli tentang perkataan, perbuatan, pernyataan dan lainnya dari Rasulullah berdasarkan kajian secara teliti dan detil, dengan tujuan tidak bertentangan dengan al-Qur'an sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam kodifikasi ibadat, syariat, hakikat dan makrifat hukum Islam.
Keempat: penelusuran hadis memang harus dilakukan secara benar, baik, teliti, dan mencapai tujauan atas kemurnian Hadis. Maka seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Muslim telah menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap perawi Hadis, agar tidak terjadi Hadis-hadis palsu yang dijadikan hujjah dalam Islam. Wallahu a'lam. (Diambil dari berbagai sumber). Imam Muhayat. Bali 9 September 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H