Semua kehidupan bersahabat dengan matahari. Mentari pagi hingga senja tak bosan menebar energi. Cahaya panasnya berbagi reaksi. Bersulam ramah pada kesetaraan. Saling berbagi diatas dasar berbagai tautan. Sinergis alam terjadi karena lingkar gaya kesempurnaan. Yang Disana telah merancang tak pernah kelupaan. Doaku padaNya aku tautkan syukuri ciptaan mentariNya. Karena panasnya mengusung uap air. Membubung di tempat yang jauh menuju cakrawala.
Disitu lafal-lafalku aku terbangkan bersamanya. Bersatu diantara gugus-gugus awan. Melayari bentangan cakrawala luas. Dimana angin akan menuju arah. Disitu doaku tetap mengerat ikat tak terpisah. Walau hanya sepenggal galah. Kondensasi uap air mengkristal bersama doa-doaku. Karena kian menggumpal berampak-ampak dengan doa-doa mereka. Memberatlah gugusan awan berubah menjadi titik-titik air. Kian menebal gugus-gugus awan di kalang titik jenuh suhu tertentu. Cucur air akan membasah di musim hujan.
Kiranya kusadari sepenuhnya. Air hujan bisa membawa berkah juga berubah menjadi bencana. Karena itu kusarangkan doaku di gugus awan-awan. Agar Ia pilihkan cucuran air hujan yang dapat menggembirakan. Mengetuk setiap atap-atap rumah seperti nyanyian alam.
Hujan, saat puisi ini kutulis. Seperti cipratan titik-titik air yang akan membawa kesejukan. Merekah bunga-bunga sepanjang lembah kehidupan. Memanah kerinduan di balik tanah kesuburan.
Rumah Pustaka, 03.10.2016. Puisi: Imam Muhayat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H