Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di antara Bingkai Lukisan Bumi

11 Oktober 2014   17:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:28 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Meski malam lalu tidak berhasil menghitung bintang, esok malam malah makin banyak lagi  bangkit dari balik selimut awan. Seperti lelaki yang mengukir jejaknya. Tetes-tetes keringat seharum aroma wewangian menguasai ruang. Cakrawala selalu melintasi jantung lautnya.

Engkau, Samodera, seperti namamu. Rahimmu penuh misteri. Pada ujung fajar di bilik bahteraku berlayar. Kuurai kegelapan pada rentang tasbih mengitari selimut kemudi.  Aku duduk terpekur mencari cahaya.  Penuh ragu menyapu arah. Bilangan mualim:  ini kapal kerakah.

Malam nanti, semaikan saja cinta, katanya. Jika engkau layari laut dengan jiwa. Badai tidak lagi membuat goyah bahteramu. Karena angin hanya selintas nyanyian. Selalu menjadi penghiburmu. Debur ombak seperti halnya sapaan musim.  Jika engkau kenali. Iringi waktu. Karena pada saatnya bahtera mesti berlabuh dalam penantian yang selalu dirindukan.

Seperti pelayaran bermakam waktu ini. Engkau pasti rindu, katanya. Aroma tanah yang tertimpah hujan yang lama kita tunggu. Siapkan persemaian. Taburi bebijian. Musim menunggu keceriaan. Tarian ranting-ranting dan simfoni dedaunan menghijau segera mungkin akan menyambut matahari.

Kini, aku ingin membawamu dalam perjalanan penuh cerita. Lihatlah, di bukit seberang rumah itu. Seorang petani mandi keringat. Saat sang surya mulai mengibaskan sayapnya. Selang waktu sejenak seorang perambah teori memadati kertas putih yang ada di atas meja.  Kian penuh dengan catatan-catatan. Keduanya berjalan ke arah bukit itu, tetapi hendak ke mana arah yang dituju. Jalan itu terus menanjak.  Keduanya terus mendaki bukit. Kesunyian seperti ini tidak akan pernah lagi ditemukannya.

Dalam kesunyian tak perlu nyanyian. Karena, kesunyian adalah irama itu sendiri. Mengalir pada setiap jiwa.  Mengukir impian. Melukis layar memori. Hanya dengan catatan  harian yang akan  mengubah cakrawala menjadi mega-mega. Yakinlah, pada saatnya, rindu kesunyian akan mengaliri pelabuhan jiwa kebanyakan. Menanti kedatangan pelayaran menuju tanah impian masa lalu. Sujudlah di bumimu, katanya. Hingga kenin membentur aroma tanah. Karena itu, jika hari ini tidak selesai merangkai lukisan bumi. Jangan lagi memetik pesona ruang bunga. Akhirnya, kegelisahan jiwa kering menghantui hari esok. Imam Muhayat, Nusadua, 11 Oktober 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun