Saya mengenal Ahmad Syubbanuddin Alwy sebagai mahasiswa Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, kini UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penampilan sehari-hari nyentrik dan mudah bergaul, akrab dengan penyair kondang Emha Ainun Nadjib. Suatu ketika sebagai pegiat Majalah Arena, dan pastinya dedengkot Sanggar Teater Eska. Orangnya bersahaja, humoris, tidak neko-neko, gojekannya simbolis dan imajiner. Banyak kawan-kawan yang respek dengannya. Suatu saat Agus Muhammad, Aly D. Musyrifa, Otto Sukatno CR, Remo Karsono, Labibah Zain, Ulfatin Ch menyebutnya sebagai sang guru dan suasana mencair saat ia bergabung bersama mereka.
Puisi-puisinya mewarnai mingguan Yogyakarta, juga media nasional lainnya, termasuk majalah Horison, dan media sastra lainnya. Menurut saya kekuatan puisi-puisinya kuat. Menguak isi hati, mengakrabi suasana alamiah, dan menyentuh nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam puisinya yang berjudul, 'REQUIM-1987,' sebagai catatan untuk mengenang Kriapur, Kristianto Agus Purnomo, yang masih muda, 28 tahun, pergi untuk selama-lamanya dengan sajaknya, "Kuseberangi jerit airmata pada sajak yang membaca rintih perjalanan. Kehidupan yang membangun manusiaku mendesirkan kepergianmu. Menuliskan luka, menuliskan luka."
Dalam ungkapan bahasa puitiknya, terasa sebagai seorang pemeluk aqidah sejati, pelaku syariah, dan pemegang teguh otoritas dalam, moralis yang konsisten. Tercermin dalam sajaknya berjudul, 'IN THE TRANSMISSION-1987,' … "Kudaki terus kudaki. Tulisan-tulisan semesta yang mengabur dan berlari, menggoreskan alamat-alamat yang tak kukenali. Pada airmata, kerenungi derita!" Puisi itu ditujukan kepada Entin Sutini, dengan prolog sajaknya, "Dalam matamu doa-doa kusembahyangkan. Ajal menderu, berkilatan menyileti jiwa. O, dingin kehidupan memanggilku, jalan-jalan kematian bergerak sepanjang kota." Empatinya yang aku suka.
Mas Ahmad, saya memanggilnya, suka menelusuri lorong-lorong jiwa sufistik. Saat-saat kegelisahan menghampiri hidupnya, selalu berusaha lebih akrab mencermati dalam diri. Terlukis pada sajaknya, 'ELEGI-1987,' yang ditujukan bagi: diri sendiri terungkap, "Dalam perjumpaan kita ada yang tak terbaca, usia dan luka. Menggoreskan peta pada rambutku. O, harapan yang sunyi dari airmata, mendzikirkan bunga-bunga. Bepelukan. Menghunuskan firman-Mu." Sebagai mahasiswa Fakultas Syariah yang banyak bersentuhan dengan kitab-kitab klasik tentang kedalaman teologik, pergolakan pemikiran syiasah dalam pencarian hakikat insani teraplikasi pada sejumlah deru kehidupan kearifan kultural menjadi pencermatannya. Kemudian, menurut saya, lahir-lah syair-syairnya ekohumanistik transendental.
Sebagai manusia biasa, yang terkadang melewati lintasan kegembiraan dan kesedihan. Kesedihannya tidak harus dipendam sendiri. Teman yang tepat diajak sharing saat itu dia-lah Mathori A Elwa. Tertulis dalam sajaknya bertajuk, "ALIENASI-1987,' ditujukan kepada Mathori A Elwa … "Air mata berlayar meneteskan muara penghabisan, tak ada yang berarti. Kita terhuyung menghitung nama-nama iklan, mereguk udara anyir, tenggelam dalam nasib yang sekarat. Tanpa peta, hanya pisau lipat berkarat. Menjerit. Mengeja urat-urat leher dan aorta. O, aku begitu perih, untuk segera bunuh diri! Dengan keagungan, kedalaman, keluhuran, dan keperkasaannya meniti kehidupan itu, ia berhasil membuat amsal pembelajaran etik-aestetik keagungan makhluk sebagai berkah hidup itu sendiri. Bermanfaat bagi mereka yang mudah putus asa, agar selalu berhasil membuka lebar-lebar cakrawala hidupnya.
Karena, 'AKU MASIH MENGINGATMU-1987-1988,' bisiknya, "Gemetar jeritanku dari tasbih dan sembahyang, tak kutemukan rumahmu diantara gigil adzan. Selain kecemasan, ayat-ayat sunyi, terlupakan. Membisikkan sampah dalam dada. Tak kutemukan bahasamu diantara erangan dan keharuan. Semua jejak membeku, aku masih terus memimpikanmu." Kegelisahan penyair mengakrabi hidup dalam pencariannya dapat bersapa syahdu dengan Yang Maha Kuasa, terasa selalu terpintal pada deretan wakktu.
Demikian, kliping 'KR' yang masih tersimpan rapi di tumpukan berkas-berkasku yang tak pernah raib dari tahun itu hingga sekarang di tanah seberang, agar dapat membuka kembali catatan-catatan Mas Ahmad Syubbanuddin Alwy, kini sudah berserah kepada Sang Ilahi … Selamat jalan, Mas Ahmad, semoga Allah SWT melapangkan semua jalanmu … menuju persinggahan penuh ridha-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H