Menurut yang saya rasakan sendiri sebagai penggerak kerukunan di Kabupaten Badung khususnya dan Bali umumnya, agar bisa menjadi bagian dari struktur keanggotaan tersebut, misalnya di FKUB, ternyata tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Saya mulai aktif di berbagai kelembagaan, khsusnya pada komunitas Islam sudah saya lalui sejak tahun 90-an ke atas. Kemudian saya direkrut aktif di organisasi MUI Kabupaten Badung mulai 2005. Sebagai Dewan Pengurus Harian MUI itu saya bergabung dengan FKUB Â Kabupaten Badung.
Artinya, hampir 15 tahun perjalanan berbagai organisasi yang saya lewati baru kemudian saya mendapat SK Bupati Badung sebagai anggota FKUB Kabupaten Badung selama tiga periode hingga akhir pada tahun 2015 mendatang. Berbagai kegiatan sudah saya lalui bersama anggota lainnya mengakrabi pencermatan konsep dinamika kerukunan yang terjadi di Kabupaten Badung, Bali.
Sebagai anggota FKUB Kabupaten Badung, Bali, saya selalu berikhtiar memupuk kompetensi terkait  keanggotaan dan kegiatan yang dilaksanakan FKUB tersebut. Baik yang saya laksanakan lewat organisasi itu maupun berbagai kiat saya sendiri agar lebih berartinya dalam keterlibatan saya di FKUB Kabupaten Badung, Bali. Misalnya, saya mengikuti Pelatihan Teknik Substantif  Peningkatan Kompetensi Penggerak Kerukunan Umat Beragama, se-Bali, NTB, dan NTT, selama 10 hari, alhamdulillah dalam kegiatan itu saya termasuk peserta terbaik dalam pelatihan.
Pada saat mengikuti pelatihan penelitian resolusi konflik yang diadakan di pedalaman puncak gunung, Pakis, Panti, Jember, terasa sangat membekas pengalaman pelatihan itu. Di samping medan pelatihan yang menantang selama 4 hari penuh. Peserta pelatihan dapat menyatu dengan alam dan masyarakat setempat dengan hidup seadanya dan kondisi alam yang seadanya pula. Betapa tidak, jalan masuk untuk menuju kampung itu hanya dapat dilewati dengan jalan setapak. Tidak kurang dari 10 km masuk tengah hutan dan tidak mungkin bisa mendatangi tempat tersebut pada malam hari, karena kondisi alam dan risiko-risiko lain layaknya hutan.
Karena saya datang terlambat tidak bersama rombongan, maka saya minta tolong orang kampong untuk mengantarkan ke tempat tersebut dengan kendaraan bermotor pada pagi hari. Karena kondisi alam, dengan kendaraan pun perjalanan tidak lancar.
Setelah sampai tempat yang saya tuju, betapa  terkejut dengan keindahan tempat ini. Betapa pun tidak ada listrik dan jalan menuju kampong itu tidak layak dilewati, masyarakat yang tidak kurang dari 40 KK itu tidak pernah menerima tawaran pemerintah untuk direlokasi di tempat lain. Mereka tetap menikmati hidup di kampong itu dengan listrik buatan sendiri dari turbin-turbin yang diputar dari aliran sungai yang masih deras dan jernih.
Pelatihan itu diadakan oleh STAIN Jember yang mendatangkan narasumber dari Kementerian Agama RI/STAIN Jember. Berjibaku dengan dinginnya puncak Jember itu, menurut saya sebanding dengan apa yang sudah saya dapatkan pengalaman dan kompetensi yang sesuai aplikasi organisasi yang saya tekuni selama ini. Tema yang diangkat adalah, "Gerakan Sosial dan Resolusi Konflik" disampaikan oleh Dr. Bisri Efendi, peneliti LIPI, Jakarta. Imam Muhayat, Bali, 11 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H