Mohon tunggu...
Imam Maarif
Imam Maarif Mohon Tunggu... pns -

Manusia biasa yang mencoba meraih mimpi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Firasat

17 Juli 2015   04:06 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:06 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku berdiri di depan pintu sebuah rumah kayu model jawa dengan cahaya remang dari matahari sore yang mengintip ke dalam. Ruang tamu nya terasa luas karena tak ada perabot sama sekali. Di tengahnya terdapat enpat orang yang sedang duduk berjejer. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Samar-samar terlihat di depan mereka sesosok yang terbungkus kain dan ditutup batik. Kulangkahkan kaki ku untuk dapat mengetahui siapa sebenarnya mereka. Seiring langkahku, perempuang yang duduk di ujung kiri bangkit dan menoleh ke arahku. Dia adalah budeku, menatapku dengan pandangan datar dan pipi basah oleh air mata yang terus mengalir. Tiga orang sisanya ikut menoleh, ternyata mereka adalah ketiga anak budeku.

Sesaat setelah itu, mataku terbuka. Dengan nafas tersengal-sengal dan badan yang basah oleh keringat. Ternyata tadi hanyalah mimpi. Namun mimpi itu terasa sangat nyata. Bahkan aku seakan bisa ikut merasakan atmosfir mencekam dan duka dari mimpi tersebut. Mimpi itu juga memberiku tanda tanya besar. Tanda tanya akan siapa sebenarnya sosok yang terbujur terbungkus kain dan tertutup batik di hadapan mereka. Jika mereka berempat adalah bude beserta anak-anaknya, apakah itu adalah pakdeku? Semua pertanyaan itu terngiang dan membuatku tak bisa tidur.

Beberapa hari setelah mimpi itu, aku masih belum bisa tidur. Perasaan gelisah dan dada berdebar selalu menyelimuti malamku. Sampai pada suatu malam, sepulang kerja, ibu menelpon. Dia memberitahukan kalau pakde ku masuk rumah sakit dan harus segera dioperasi karena tumor  di paru-paru. Aku syok mendengar kabar tersebut. Tak hanya syok karena kabar sedih ini, terlebih karena mimpi yang selalu membayang-bayangiku beberapa hari belakangan ini. Sehingga aku menarik kesimpulan dari arti mimpi itu, yaitu pakde ku akan berpulang. Namun aku menyangkalnya, itu hanyalah mimpi biasa. Tak ada hubungannya dengan dunia nyata. Dan aku berharap agar pakde segera sembuh setelah menjalani operasi.

Beberapa menit setelah menerima kabar dari ibu, aku menelponnya kembali. Berencana untuk menceritakan mimpi ku tersebut kepadanya. Namun ketika terlpon ibu ku telah berdering, aku kembali berfikir. Bagaimana perasaan ibuku ketika aku menceritakan mimpi tersebut. Aku pun takut jika ini hanya akan memperburuk keadaannya. Sehingga aku mengurungkan niatku.

Beberapa hari setelahnya, ibu ku kembali menelpon. Kali ini dia mengabarkan berita duka. Berita duka yang persis seperti mimpi yang selama ini menghantuiku. Pakde meninggal dunia. Tanpa sadar air mataku menetes mendengar kabar duka itu. Aku lantas memberanikan diri untuk menceritakan semua mimpi ku yang berupa firasat atas kematian pakde ku.

Terkadang kita mengalami banyak hal yang tak bisa dinalar dengan logika. Segala pertanda  yang nampak konyol, namun ini nyata. Mungkin ini bahasa dari alam, yang sulit dimengerti manusia. Tapi ku percaya ini adalah firasat.

Cerita ini berdasarkan kisah nyata dan pengalaman pribadi penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun