Di dalam pasar tradisional terdapat berbagai manusia dengan isi kepala, perilaku, dan perangai yang beragam. Hal itu menjadikan setiap individu di sini memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula. Namun, etnis dalam hal ini agaknya tak terlalu berperan dominan. Di mana, etnis tak memengaruhi cara berpikir atau berperilaku setiap individu.Â
Mungkin karena mereka sudah berakulturasi dengan warga setempat, menjadikan mereka tahu harus bagaimana dalam bersikap supaya dapat diterima oleh masyarakat lokal. Etnis sunda misalnya, etnis yang paling dominan di pasar ini. Mereka adalah orang-orang yang paling aktif, seperti halnya berteriak-teriak, menyanyi, dan berucap dengan intonasi yang nyaring lagi menusuk telinga. Namun, bukan hanya etnis sunda saja, ada seorang minang yang juga demikian.Â
Berbicara mengenai perangai setiap individu, perhatian saya tertuju kepada seorang juru parkir dengan muka datar yang amat mengintimidasi. Penampilannya seperti preman: Badannya tegap dan kekar, mengenakan kaos lengan panjang, celana jeans, sepatu, topi, dan tak lupa dengan kalung besi yang melingkari lehernya.Â
Saya sudah beberapa kali bertatap muka langsung dengannya. Namun, setiap kali saya menyapa ia hanya memelotot dengan wajah yang amat masam. Pekerjaannya sehari-hari adalah duduk di samping warung kelontong yang terletak di bagian pintu keluar pasar, merokok sembari menyeruput kopi menunggu motor keluar, kemudian menarik uang untuk biaya parkir. Sesekali membantu memarkirkan mobil atau membantu pemotor yang kesusahan mengeluarkan motornya---biasanya ibu-ibu.Â
Walaupun hanya seorang juru parkir, namun motor juru parkir itu sangat bagus. Lebih bagus dari motor milik saya bahkan. Ya, memang, walaupun juru parkir terlihat pekerjaan yang amat sepele, namun, tak peduli ada yang beli dagangannya atau tidak, tak peduli dengan aturan mengesalkan sebuah instansi perusahaan, tak peduli ancaman untuk dirumahkan, ia tetap mendapatkan pemasukan harian. Mungkin, yang menjadi masalah adalah jika terdapat seorang preman brengsek yang ingin mengambil alih lahan tersebut saja: Perang atau pulang.
Pasar, baru-baru ini sedang mengalami perbaikan infrastruktur. Di mana seluruh bangunan semi permanen di robohkan untuk digantikan dengan bangunan baru yang lebih memadai. Karena hal itu, setiap pedagang diminta untuk membongkar bangunannya masing-masing, dengan maksud untuk mengambil bahan-bahan yang masih bisa dipakai. Sayang, jikalau di bongkar oleh tukang maka akan mengeluarkan biaya tambahan, atau yang lebih buruk lagi adalah barang yang masih dapat digunakan bisa rusak begitu saja. Karena, para pedagang di sini membangun kios menggunakan uang pribadi.
Kebetulan, saat pembongkaran bersama, saya tidak hadir, dan barang dagangan saya masih ada di dalam toko. Tukang bagunan tidak berani untuk membongkar paksa selagi masih ada barang dagangan di dalam kios tersebut. Bingung juga akan dikemanakan barang-barang itu. Akhirnya, dibiarkan. Dan keesokan harinya saya datang, terlihat semua kios sudah dilucuti, menyisakan barang dagangan yang menggantung di setiap lapak tanpa bangunan di bawah hamparan baja ringan---kecuali kios milik saya. Saya diberitahukan seluruh masalahnya oleh seorang pria tua Minang---saya memanggilnya Uda. Dan, saya bergegaslah untuk melakukan operasi palu linggis pembongkaran kios. Di mana, Ayah saya juga sudah mengamanahkan hal demikian.
Ketika siang, di mana suasana pasar ramai oleh ruah pedagang dan pembeli, saya sibuk bergelut dengan palu dan linggis seorang diri. Membongkar kios untuk mengambil bahan-bahan bangunan---kayu kaso dan triplek---yang masih dapat digunakan. Namun, karena saya kurang berpengalaman di dunia pertukangan, menjadikan saya bingung harus bagaimana melepaskan kaso-kaso itu dari gigitan paku yang menjahit mereka satu demi satu. Saat saya kebingungan, datanglah juru parkir menyeramkan tersebut menghampiri saya dari hiruk-pikuk pasar siang itu. Ia datang dengan wajah sangarnya, tanpa senyuman, dengan mata yang menyorot tajam. Saya tak memedulikan hal itu, hanya melihatnya sekilas, kemudian melanjutkan pertukangan. Tak peduli, jika ia macam-macam tinggal pukul saja menggunakan linggis.
Tetapi, seluruh pikiran buruk saya itu luruh seketika, saat ia bilang "Salah itu, harusnya yang dicopot bagian bawahnya dulu. Biar lebih gampang." Menunjuk rangka bangunan yang tripleknya sudah terlepas. Pada hari itu, ia membantu saya untuk membongkar kios tersebut. Ini di luar dugaan. Maksud saya adalah, setelah seluruh stigma negatif saya terhadapnya, ternyata apa yang dituduhkan tersebut salah total. Ternyata hanya penampilannya saja yang seram, namun hatinya baik.Â
Don't judge book by a cover, itu adalah kalimat yang harus saya ingat selalu. Mungkin wajahnya seram, namun kita tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Berkat beliau, pekerjaan saya pada hari itu menjadi lebih ringan. Terimakasih, Pak Tua Preman Pasar. Sehat-sehat selalu.