Mohon tunggu...
Imam Kodri
Imam Kodri Mohon Tunggu... - -

Formal Education Background in UPDM (B) Of Bachelor’s Degree of Politics and Social Science, majoring of Public Administration and Master Degree, Majoring of Human Resources. Worked in various private companies over 30 years, such as: PT. Pan Brothers Textile as HRD Assistant Manager, PT. Sumber Makmur as HRD Manager, General Personnel Manager at PT. Bangun Perkarsa Adhitamasentra, Senior Manager of HRD and General affair at PT. Indoraya Giriperkarsa, Headmaster of Kelapa Dua High School, and the last, Head of the General Bureau and Human Resources at ISTN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Megawati, dan Kekalahan PDIP Beserta Koalisinya

27 September 2014   03:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:20 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PDIP pada tahun kemenangan Pilpres yang baru diselenggarakan tahun ini, serta menjadi pemimpin koalisi Indonesia Hebat, ternyata tidak diimbangi keunggulannya di lembaga legislative, akibat kekalahan dari kubu koalisi Merah Putih yang berhasil mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. KepemimpinanPDIP (baca Megawati) gagal memenuhi amanat demokrasi lansung dari rakyat Indonesia. Sebanyak 83 % dari seluruh rakyat Indonesia menginginkan PILKADA secara langsung. Namun apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat, suatu kemunduran berpolitik, yang mencederai hak-hak rakyat yang paling dalam. Manufer politikus-politikus yang hanya mementingkan nasfsu kekuasaan belaka.

Dipihak lain pihak, gebragan-gebragan dalam strategi perpolitikan di koalisi Indonesia Hebat juga tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Terkesan berjalan ditempat statis, Keharmonisan dalam tubuh Indonesia Hebat, sangat kurang dibanding dengan kubu Merah Putih. Mereka selalu memperlihatkan perjuangan mereka, satu kata, satu perbuatan, satu perjuangan, satu kemenangan. Hal ini dipercontohkan oleh para petinggi partai koalisinya yang tampak harmonis di hampir semua kegiatan. Kegagalan Indonesia Hebat akan berdampak langsung kepada jalannya pemerintahan Jokowi-Jk, kedepan. Terutama dalam pelaksanaan terhadap program trisaktinya Jokowi. (Mudah-mudahan ini tidak terjadi.)

Kegagalan ini tidak lepas dari gaya kepemimpinan Megawati dalam mengelola PDIP dan koalisinya. Didalam koalisi Indonesia Hebat yang menjadi figure seharusnya tampilan Megawati yang mengesankan, tidak cengeng, tidak egois. Seharusnya dapat tampil sekuat politisi handal, pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi.

Sebenarnya banyak kader terdidik dari PDIP yang melihat kepemimpinan Mega, seperti pemimpin yang dipaksakan. Kenapa seperti dipaksakan? Jawabannya terpulang kepada kader-kader muda PDIP yang reformis. Apa yang menjadi alasan kepemimpinan Mega merupakan penyebab kekalahan dalam menggolkan PILKADA secara langsung?

Pertama: Akseptabilitas Megawati dikalangan politisi Senayan rendah, serta kurangnya penguasaan materi perpolitikan, lemahnya strategi dan lobi-lobi politik dan cenderung menganggap remeh terhadap pihak lawan politiknya. Mega kurang memberikan peluang kepada kader-kadernya untuk menjadi figur idaman dan pilihan publik.(Kemunculan dan keterpilihan Jokowidodo, bukan karena Mega apalagi PDIP, akan tetapi murni dari kepribadian Jokowi, yang dapat mengikat hati rakyat).

Kedua: Ketum PDIP tidak berjiwa besar, untuk mengakui keunggulan dan kekuatan SBY dan Demokratnya. Mega kurang peka terhadap SBY dan sinyal-sinyal yang diberikannya. Sebenarnya harus disadari jauh-jauh hari sebelumnya, kalau SBY adalah seorang politikus handal sejak runtuhnya pemerintahan Suharto. Dia mampu berpenampilan ganda, sehingga banyak orang tidak menyadari, mana SBY yang beneran atau SBY yang lain. Dia akan sanggup mengendalikan demokrat untuk berkata ya, tetapi pada hakekatnya tidak dan sebaliknya. Kalua ingkar janji adalah masalah biasa, semua partai juga begitu (tetapi ingat Pak Jokowi jangan ikut-ikutan ingkar janji). Megawati juga memandang sebelah mata kepada SBY, Padahal sebagai Ketum Demokrat, mempunyai peran sangat kuat sebagai kunci untuk menopang PDIP dan koalisinya memenangkan suara di legislative, bukan sebagai penyeimbang belaka. SBY masih menjabat sebagai Presiden RI, dapat mengoptimalkan Menteri Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara, Kementerian terkait lainnya, lebaga-lembaga Negara lainnya, bahkan mungkin LSM , untuk memberikan masukan dan mempengaruhi kepada DPR agar menggolkan PILKADA langsung.

Ketiga: Megawati tidak pandai merangkul dan mengajak tokoh-tokoh partai koalisi Merah Putih. Padahal peluang sedemikian luas, tetapi tidak dimanfaatkan. Lihat saja ketika PPP menghadapi kisruh, Mega dan PDIP seharusnya memanfaatkan peluang tersebut melalui tindakan politiknya (terserah tindakan yang lazim atau gaya yang lain, yang penting untuk kepentingan kemenangan rakyat) sehingga PPP dapat merapat ke kubu Mega (ternyata Mega dan PDIP diam, hanya sekali-kali sedikit berkomentar kalau ditanya wartawan). Termasuk kepada GOLKAR, tak ada sekalipun Ketum atau Set-Jen Partai yang melobi untuk melekatkan GOLKAR dengan Indonesia Hebat. Yang dilakukannya adalah selalu menjaga jarak dengan lawan-lawan politiknya secara berlebihan, sehingga muncul ejekan Mega sombong! Tapi juga cengeng, sering mengekspresikan kekecewaan dengan menangis didepan public, tidak menunjukan karakter sosok pemimpin kuat, tidak kharismatik dan berjiwa besar. Jadilah pemimpin yang tidak disegani kawan dan lawan. Masyarakat bosan, kecewa, dan memandang kurang simpatik.(untuk catatan: Jangan anggap kemenangan PDIP dalam pileg adalah faktor Mega tetapi sebenarnya karena ada figure Jokowidodo).

Keempat: Megawati dan Puan, cenderung mempertahankan sistim politik dinasti. Yang bertentangan dengan suara hati nurani rakyat Indonesia, Politik Dinasti ini dibuktikan dengan terpilihnya kembali Mega untu menduduki Ketum pada periode 2015-2020, pada Rakernas ke IV di Semarang. Hal ini juga membuktikan kaderisasi di PDIP, mandeg. Bagaimana mau mencipta para profesioal-profesional muda, kalau politik dinasti masih kuat menempel di tubuh PDIP (bandingkan partai di luar PDIP, mewajibkan para kadernya menempuh pendidikan sampai tingkat doctor dari berbagai disiplin ilmu). Politik Dinasti sangat feodalistik, yang tampak adalah pemimpin yang harus berasal dari keturunan pemimpin. Tidak peduli pewaris atau ahli warisnya, apakah layak atau mlempem dan asal-asalan.

Harapan Rakyat kini semakin tipis tak menentu, untuk kedepannya memilih partai yang putih atau partai yang berwarna hitam. Yang dipilih sebenarnya tidak berlebihan, yang mengayomi, membela, yang dapat menjembatani kepentingan-kepentingan rakyat dengan pemangku kebijakan Negara. Tujuannya adalah kesejahteraan. Nah, masih ada secercah harapan, rakyat berbondong-bondong memberi dukungannya kepada Pak Jokowi-Jk. Beliau berdua sangat di harapkan menjadi Ratu Yang Adil memimpin bangsa ini. Supaya ada perubahan, perubahan yang membahagiakan rakyat Indonesia. Memang rakyat mengakui, kalau Pak Jokowi tidak pandai bermain sulap, tetapi beliau perwujudan pemimpin yang adil, pemimpin yang jujur, amanah, berani menghadapi resiko besar, melawan lintah penghisap darah rakyat, melawan mafia dan segala macam mafia. Mega, PDIP dan koalisinya harus membuat strategi dukungan untuk menyelamatkan kepemerintahan Jokowi-JK dari berbagai bentuk hambatan yang datang dari dalam partai maupun dali luar partai koaliasi.

Hambatan dari luar partai koalisi, relative lebih mudah penangannya, diperlukan komunikasi politik secara intensif, langsung oleh Jokowi-Jk. Mengurangi campur tangan langsung oleh PDIP maupun partai koalisinya, dalam pelaksanaan kerja kepemerintahan Jokowi-Jk. Kekuatan yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh pemerintahan Jokowi-Jk adalah dari awal mendapatkan dukungan rakyat, ditambah para relawan yang sangat piawai membentuk partisipasi publik, untuk memberi dukungannya kepada program-program kerja pemerintah yang pro rakyat. Pemerintahan Jokowi-Jk tidak dibebani hutang oleh partai politik manapun, satu-satunya hutang yang ia harus bayar adalah hutang kepada rakyat. Jadi kekalahan partai koalisi Indonesia Hebat dalam mengusung PILKADA LANGSUNG, tidak menjadikan Jokowi-JK ikut kalah, tetapi malah menjadi peluang untuk memperoleh simpati rakyat yang lebih besar dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Sekarang tinggal Megawati danjajarannya, segera memperbaiki internal organisasi dalam kaderisasi yang lebih berbobot dan professional. Merubah gaya kepemimpinan dan politik dinasti menjadi politik terbuka dan demokrasi yang demokratis. Melempar kesalahan kepada partai lain apalagi mengkaitkannya dengan individu ketum partai, harus dihindari. Selamat, … walaupun kalah , tetapi untuk menang!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun