[caption id="attachment_382245" align="aligncenter" width="496" caption="Jusuf Kalla, Joko Widodo dan Puan Maharani, (SINDOphoto)."][/caption]
Cara Presiden Jokowi memberikan penugasan dan mengevaluasi Puan yang diberi kepercayaan sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sangat berbeda dengan menteri-menteri yang lain. Puan adalah puteri seorang ketua umum partai pengusung yang menjadikan Jokowi berhasil memenangkan pemilu Presiden di 2014.
Dialah tokoh yang sangat disegani oleh Presiden Jokowidodo, tidak lain adalah Megawati Sukarno Putri. Perlakuan berbeda dengan sukarela atau terpaksa dilakukan Jokowi, karena pertimbangan, etika dan kultur budaya orang timur khususnya dari Jawa Tengah antara lain nilai-nilai balas budi.
Jokowi adalah priyayi luhur keturunan Solo yang sangat menghargai budaya adiluhung kasultanan Mataram, setiap putra atau putri seorang pemimpin, tokoh ulama, raja, sultan, Jokowi memberikan penghormatan bukan hanya untuk Megawati, akan tetapi turun sampai kepada anak keturunannya.
Ketika Presiden Jokowi menerima Puan sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) pertimbangan utama adalah karena menghormati Mega. Sedangkan faktor-faktor pengalaman, kecakapan profesionalisme, bersih dari KKN, dianggap nomor sekian sebagai persyaratan tambahan saja yang tidak wajib, boleh dipakai, boleh juga dibuang.
Apalagi misalnya akan menambahi persyaratan lain yang biasa dikenakan kepada calon menteri lainnya misalnya kemampuan beretika tentu saja Pak Jokowi harus membuangnya jauh-jauh. Kenapa demikian? Karena jika persyaratan kemampuan beretika dipergunakan sebagai akat ukur bagi calon seorang menteri, maka dapat dipastikan Puan tidak bakalan lolos seleksi. Gugur dengan sendirinya.
Jadi pertimbangan pertama Jokowi menerima Puan sebagai menteri seperti yang diuraikan diatas adalah semata-mata hanya karena menghormati Mega sebagai Ketua Umum PDIP, saya sebut saja faktor balas budi atau faktor politik etis.
Pertimbangan kedua adalah; yang menurut Jokowi, menyebutnya sebagai politik praktis ini merupakan keahlian khusus yang dimiliki oleh sedikit orang yang bukan berlatar belakang pendidikan sarjana politik.
Seperti yang sering diperagakan oleh Ir Sukarno, Jenderal Suharto, ketika beliau menjadi presiden RI. Dalam politik praktis Jokowi yang bukan berasal dari struktural Partai, ternyata mampu menyedot perhatian dan dukungan grace root PDIP dan partai pendukung lainnya.
Paling mudah dilihat hasil dari politik Praktis adalah kemampuan Jokowi demikian pula Sukarno dan Suharto mengatasnamakan suara rakyat yang menjelma pada dirinya, dan sangat ta’jub ternyata suara rakyat menghampirinya dan akhirnya mampu menyatu dengan rakyat, mampu manunggal kawula lan gusti ( menyatunya pemilik kekuasaan dengan rakyatnya).
Siapa yang mampu menterjemahkan suara, perilaku, tindakannya, pada dirinya menjadi suara rakyat kecuali diri Presiden Jokowi, sebagaimana yang pernah dimiliki kemampuan tersebut oleh Presiden Sukarno dan Suharto.