Presiden Joko Widodo dinilai tidak tegas dalam menyikapi penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, pada Jumat, 23 Januari 2015. Banyak kalangan menganggap Jokowi terkesan membiarkan kriminalisasi terhadap anggota pimpinan KPK itu oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri.
Menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, Jokowi kalah tegas ketimbang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menangani kasus kriminalisasi terhadap anggota pimpinan KPK, Bibid Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, oleh Polri, yang dikenal dengan sebutan “cicak vs buaya”
Jokowi dinilai tidak tegas, lalu menurut para pengamat, para pendukung Jokowi, dan dari berbagai pihak, sikap tegas Jokowi itu bentuknya harus bagaimana. Apakah Jokowi harus meledak-ledak mensikapi gonjang-ganjing perseteruan antara Polri dengan KPK?
Apakah Jokowi harus menyalahkan kepada salah satu pihak dan membenarkan terhadap pihak lainnya? Ataukah Jokowi memberikan perlindungan kekebalan hukum kepada KPK? Atau sang Presiden harus mengeluarkan SP3 seperti yang pernah dilakakukan oleh Presiden SBY ketika kasus cicak vs buaya?
Banyak kalangan dari berbagai profesi, para relawan Jokowi, para simpatisan dan pendukung Jokowi, mengharapkan Jokowi bertindak seperti yang diperbuat oleh Presiden SBY ketika menyelesaikan kasus perseteruan antara KPK dengan Polri.
Atau setidaknya Presiden Jokowidodo berani mengambil resiko selamatkan dulu KPK dengan memerintahkan kepada Polri agar mendukung sepenuhnya penyelesaian kasus-kasus korupsi termasuk yang sedang menimpa Komjen BG.
Bila kita sikapi dengan hati-hati dan kepala dingin, dengan hati bersih dan tulus ikhlas, apa yang dilakukan oleh Jokowi selama ini tidak seharusnya jadi pergunjingan hebat malah cenderung memojokan sang Presiden.
Bagaimana pun Jokowi tidak akan dapat diperbandingkan dengan siapapun juga termasuk terhadap mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Mereka berdua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Memang dalam mensikapi kasus perseteruan antara Polri VS KPK,Jokowidodo hanya menyampaikan solusi yang sifatnya normatifbelaka, masih memerlukan penjelasan rinci tindakan dan langkah-langkah yang harus dikerjakan baik oleh Polri maupun KPK.
Gaya penyelesaian Jokowidodo yang demikian itu sesungguhnya sangat sesuai dengan postur, cara bicara, pengalaman hidup beliau, latar belakang kehidupan pribadi beliau, latar belakang kehidupan orang tuanya, serta pengalaman pendidikan formal serta derajat kerochanian pribadi Jokowidodo.
Beliau sebagai orang jawa asli yang dibesarkan di kota Solo, kota yang mewarisi adat kebudayaan adiluhung warisan adat istiadat yang sarat dengan adat keraton Mataram.
Oleh sebab itu Jokowidodo selalu terkesan lambat (alon-alon asal kelakon). Termasuk dalam penyelesaian soal kisruh KPK VS Polri. Terkesan sangat lambat, sangat santai, sekenanya, kapan ada waktu ya ditangani. Bila tidak ya tunggu waktu luang.
Jokowi yang sesungguhnya berasal dari kehidupan anak desa, pengalaman yang serba pahit dikala masih kanak-kanak karena mengalami hidup harus berpindah-pindah rumah karena penggusuran, membawa gaya hidup dalam pergaulan dengan selalu berpenampilan sederhana.
Sederhana bukan dari sifat yang melekat pada dirinya sebagai sifat sederhana atas kesadaran hidup, akan tetapi sederhana karena munculnya sifat yang rendah diri (minder).
Perhatikan cara beliau bergaul dengan para pejabat tinggi di pemerintahannya, akan tampak sekali gaya rendah diri yang beliau perlihatkan. Yang paling tampak ketika Jokowi barusaja menyampaikan pernyataan resmi pembentukan tim independen.
Jokowi berjalan mundur ketika menawarkan kepada independen untuk menyampaikan tanggapan atas pertanyaan para wartawan.
Tampak sekali Jokowi kikuk berhadapan dengan para pakar mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakapolri Komjen (purn) Oegroseno, pengamat kepolisian dan akademisi Bambang Widodo Umar, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto, dan mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
Bagaimanapun kita tidak boleh mencelanya, karena semua itu sudah menjadi pembawaan beliau. Malah kita harus bangga sebagai bangsa Indonesia, inilah satu-satunya Presiden kita yang memiliki gaya khas “alon-alon asal kelakon” mungkin juga “mangan ora mangan asal ngumpul”.
Presiden hasil pilihan rakyat, yang diusung bersama rakyat untuk memasuki pintu gerbang istana Negara dengan segala penghormatan dan beratus ribu iringan para relawan dan pendukung beliau.
Ketelitian serta kehati-hatian jokowi dalam penyelesaian kasus Polri VS KPK, sesuai dengan pengalaman kerja sebagai tukan kayu yang digelutinya dari remaja. Pengalaman sebagai tukang kayu yang diwarisi dari almarhum ayahandanya juga seorang tukang kayu tulen.
Tukang kayu sangat teliti, njlimet, tak boleh dipaksa agar cepat selesai, tidak boleh ada intervensi dalam mengerjakan detail-detail perkayuan dan tidak perlu terburu-buru (atau kesusu) dalam setiap menghadapi semua jenis pekerjaan, tujuannya jelas hasil yang diperoleh akan menghasilkan hasil yang optimal.
Demikian juga Presiden Jokowidodo mewarisi tradisi cara kerja yang teliti, njlimet, tidak boleh ada paksaan dari siapapun juga, apalagi intervensi dan tidak perlu terburu-buru dalam menyelesaikan kasus kisruh antara Polri VS KPK.
Lalu pengalaman beliau ketika menjadi Walikota Solo selama dua periode dengan hasil gemilang apakah tidak ikut diperhitungkan? Serta selama dua tahun menjadi Gubernur DKI, jabatan kepala daerah paling bergengsi di negeri ini, apa tidak juga mempengaruhi cara dan gaya kerja beliau?
Tentu saja jawabannya seharusnya ada banyak pengaruhnya, hanya saja gaya asli seseorang atau pembawaan asli seseorang memang sulit untuk berubah. Termasuk khusus untuk Bapak Presiden Jokowidodo, seharusnya pengalaman beliau sebagai walikota dan gubernur akan membawa perubahan gaya dan cara kerja beliau.
Akan tetapi maaf sekali lagi maaf, ini beliau sendiri yang menyampaikan, bahwa jabatan sebagai walikota Solo selama dua periode, dan dua tahun sebagai Gubernur DKI adalah sebuah “kecelakaan” belaka.
Sebagai Walikota Solo adalah sebuah “kecelakaan”, dan sebagai Gubernur DKI juga merupakan “kecelakaan”. Oleh sebab itu kita sebagai pendukung dan para relawan semua tidak boleh menyesali semua apa yang sudah diperlihatkan beliau kepada kita semua, termasuk kepada Kompasioner yang bijaksana.
Karena terpilihnya beliau sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke 7 , sesungguhnya menurut beliau adalah sebuah “Kecelakaan” juga. Inilah sebab mengapa beliau selalu terkesan tidak tegas. Maaf, maaf, sekali lagi maaf.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H