Gubernur DKI berani berkata “Siapa yang dipanggil BARESKRIM, dia yang jahat”, menunjukan Ahok dengan keyakinannya tekah mengetahui siapa yang bakalan berurusan dengan Kepolisian terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah DKI Jakarta.
Namun dengan penuh rasa tanggung jawab dan tenggang rasa yang tinggi Ahok enggan menunjuk langsung batang hidungnya orang-orang yang bakalan terlibat kasus Anggaran Siluman DKI.
Keengganan Ahok untuk langsung menyebutkan siapa orangnya, karena masih menjujunjung tinggi hukum dan etika.
Walaupun sudah diminta oleh Ketua PRD DKI Prasetio Edi Marsudi untuk menyebutkan satu orang saja yang sering disebutkan sebagai maling oleh Ahok.
Akan tetapi Ahok menolaknya . Ahok hanya memberikan isyarat orang-orang yang disinyalir melakukan dengan kesengajaan salah kelola managemen dan terlibat pintar dalam bermain anggaran selalu piawai dalam menyelipkan POKIR (pokok-pokok pikiran).
Hal ini untuk menjawab tantangan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi yang meminta Basuki untuk menunjuk satu orang yang disebut sebagai maling.
Sehingga tidak terkesan menuduh semua anggota dewan sebagai maling. Kini Ahok semakin mantap saja menghadapai para POKIR, karena sudah ada yang akan menangani dengan semangat pemberantasan korupsi disertai mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Bagi Ahok , dengan berperannya BARESKRIM dalam mencari akar masalah anggaran siluman menjadikan dirinya semakin yakin akan segera terbongkarnya siapa sesungguhnya yang menjadi biang kerok selama berpuluh-puluh tahun menjadikan APBD DKI Jakarta menjadi bancakan para koruptor yang selama ini bersembunyi dibalik gedung mewah Jalan kebon Sirih Jakarta Pusat.
Gubernur DKI Basuki hanya menjalankan tugas dari rakyat berjalan sesuai dengan rel yang sudah ditentukan, menyerahkan kelanjutan pemberantasan korupsi APBD DKI kepada pihak berwenang.
Hukum yang akan membuktikan soal anggota DPRD yang terbukti "bermain" anggaran. Terlebih, Bareskrim Mabes Polri akan memanggil anggota DPRD terkait kasus pengadaan perangkat UPS (uninterrruptible power supply) tahun 2014, Di APBD-Perubahan 2014.
Telah diketahui bahwa sekolah-sekolah di Jakarta dianggarkan pengadaan UPS dengan nilai fantastis Rp 5,8 miliar tiap sekolah.
Alangkah moncernya nama Basuki bila prediksi Ahok dalam beberapa pekan ini terbukti akan bermunculan hidung-hidung anggota DPRD DKI yang diseret BARESKTRIM.
Masyarakat boleh menyebutkan dengan menyandarkan kepada ucapan Sang Gubernur “Siapapaun yang dipanggil BARESKRIM adalah jahat”.
Sejak kasus anggaran siluman dibuka kedoknya oleh Ahok, salah seorang anggota DPRD DKI dari Fraksi Gerindra, Rina Aditya Sardika, sudah tidak pernah terlihat lagi di tempat kerjanya. Tak jelas mulai kapan ia menghilang.
Rina ini adalah anak dari Alex Usman, salah satu pejabat pemegang komitmen (PPK) pengadaan perangkat penyedia daya listrik (uninterruptible power supply/UPS), di sekolah-sekolah yang ada di Jakarta Barat pada 2014.
Apakah raibnya Rina Aditya Sardika ini ada kaitannya dengan Anggaran Siluman DKI Jakarta atau tidak. Namun perlu diketahui di jajaran Birokrasi pemerintahan DKI Jakarta para pejabatnya mulai dari eselon 4, eselon 3 terlibat, eselon 2 juga mungkin ada juga yang terlibat.
Ahok, mengakui telah mengantongi nama-nama oknum satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI yang diduga terlibat dalam kasus pengadaan 49 unit Uninterruptible Power Supply (UPS) yang sudah ada ditangan Kepolisian.
BARESKRIM sudah mulai memanggil diantara mereka, antara lain Alex sudah menjalani pemeriksaan di Mapolda Metro Jaya. Diungkapkannya, oknum SKPD yang terlibat mulai dari pejabat eselon 2 hingga eselon 4. Artinya, pejabat yang diduga terlibat dalam kasus ini setingkat kepala seksi, kepala bidang dan kepala dinas.
Kasus dugaan korupsi pengadaan UPS berawal dari temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DKI Jakarta. Laporan BPKP DKI menyebutkan, ada indikasi korupsi senilai Rp 300 miliar dari pengadaan UPS di 49 sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Kerugian negara diprediksi Rp 50 miliar atas pengadaan alat-alat tersebut. Awalnya, kasus tersebut ditangani penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Namun, atas alasan keharmonisan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah antara Polda Metro Jaya dengan DPRD DKI, perkara itu dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI