Satu tahun pemerintahan Jokowi–JK diwarnai banyak sekali musibah (sebaiknya dikonotasikan sebagai ujian). Ekonomi yang terpuruk, salah satu indikasinya nilai rupiah yang tembus diatas Rp 13000 per dollar AS menyebabkan industri nasional kita kalah bersaing dengan negara tetangga. Lapangan pekerjaan menyempit dan PHK mewabah serta tekanan terhadap upah buruh semakin rendah, dampaknya kemampuan konsumsi masyarakat melemah, dan akhirnya angka kemiskinan bertambah.
Sampai satu tahun perjalanan pemerintahan Jokowi belum ada tanda-tanda adanya pemulihan kondisi ekonomi yang signifikan. Keadaan bertambah menjadi lebih parah karena disusul datangnya musibah lain yakni kebakaran hutan yang masif terutama di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran Hutan itu sudah memakan korban lebih dari 10 orang meninggal dan ribuan menderita ISPA akibat asap.
Stabilitas politik nyaris mengalami guncangan hebat, akibat musibah konflik sara di Tolikara dan Singkili Aceh. Data intelijen mengatakan bahwa konflik yang terjadi di dua wilayah dalam negara kesatuan RI, bukan sara akan tetapi sengaja diciptakan oleh pihak asing yang bertujuan menciptakan instabilitas NKRI.
Yang paling memprihatinkan adalah musibah yang datang dari kader partai pendukung Jokowi yang terlibat Korupsi. Mereka dari Partai NasDem Patrice Rio Capella, Partai Hanura Dewi Yasin Limpo, dan juga dari PDIP Adriansyah. Diakui atau tidak faktor mental korup para pendukungnya membuat popularitas Jokowi mengalami kemerosotan.
Oleh sebab itu untuk mengukur nilai keberhasilan Jokowi dalam satu tahun menjalankan pemerintahannya disesuaikan dengan program revolusi mental dan nawacita menjadi sangat sulit. Jika dikatakan gagal, tidak juga, sebab rakyat masih memberikan kepercayaan dan harapan yang tinggi kepada Presiden Jokowidodo.
Namun dengan melihat kondisi dilapangan Pemerintahan Jokowi-Jk yang sedang mengalami keterpurukan tidak dapat diingkari. Ada banyak faktor internal maupun eksternal yang membuat Jokowi sulit berkiprah dalam menjalankan roda pemerintahannya terutama kebangkitan dari keterpurukan ekonomi dan merevolusi mental dari perilaku korup para kader pendukungnya.
Faktor internal pertama dalam bidang koordinasi pemerintahan, Jokowi – JK terlihat lemah belum cukup kuat, hal ini dapat dilihat dari:
Sering terjadinya perbedaan pendapat yang menyeruak keluar publik antara Presiden dan Wakil Presiden. Antara Wakil Presiden dengan menterinya. Antara menteri dengan menteri. Antara menteri dengan pejabat tinggi lainnya, bahkan antara Presiden dengan bawahannya yang disinyalir ada salah seorang menteri perempuan yang berani menghina Pak Jokowi. Kondisi yang demikian akan berpengaruh negatif terhadap kinerja Jokowi secara keseluruhan.
Antara Jokowi dengan JK soal revisi UU KPK satu pihak setuju dipihak lainnya tidak setuju, demikian pula soal pembekuan PSSI, ketika Jokowi meminta kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan penggiat antikorupsi dihentikan, JK justru mendukung agar kasus tersebut diteruskan.
Antara pejabat satu dengan lainnya sering terjadi silang pendapat dalam berbagai urusan. Contohnya Rizal Ramli berbantah-bantahan dengan Jusuf Kalla soal listrik 35000 MW. Juga RR dengan RS soal Pesawat Airbus 350 sebanyak 30 buah, RS dengan IJ soal proyek KAI Jakarta- Bandung, antara RR dengan menteri ESDM SS soal Freeport, seorang menterinya berani melawan dan menghina Presiden Jokowi dan masih banyak lagi yang lain.
Belum lagi antara menteri satu dengan lainnya yang saling adu argumentasi dalam berbagai soal kebijakan, Koordinasi intelijen yang tidak padu menyebabkan terjadinya peristiwa Tolikara maupun Singkili Aceh. Misalnya koordinasi antara kementerian, hambatan birokrasi yang berbelit-belit salah satu contohnya masalah Dwelling Time.