Â
[caption caption="Fadli Zon menilai sudah saatnya Jokowi Bersikap sebagai Presiden. (harianjambi.com)"][/caption]
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, perombakan atau reshuffle kabinet memang penting untuk dilakukan, terutama di sejumlah sektor yang belum bekerja maksimal. Namun, Fadli menilai, kunci berjalannya pemerintahan tetap ada di tangan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin tertinggi. Menurutnya, Presiden adalah sebagai penanggung jawab utama, sebagai lokomotifnya, harusnya ada grand design untuk memberikan gagasan yang besar untuk urusan besar. Yang dipersoalkan Fadli kenapa Presiden Jokowi hanya mengurusi yang mikro-mikro saja yang seharusnya tidak perlu dilakukannya sendiri, seperti halnya bagi-bagi kaus, kartu dan lain-lain. Sekarang bukan saatnya untuk pencitraan lagi, waktu Presiden itu sangat mahal, jadi Presiden harus betul-betul tahu menempatkan diri sebagai Presiden. Bukan sebagai menteri dan ketua RT. Demikian ocehan Fadli Zon seorang politisi Gerindra yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI. JAKARTA, KOMPAS.com
Dalam dunia pewayangan kita mengenal sosok tokoh legendaris, ketika masih muda bernama Haryo Suman. Setelah menduduki jabatan MahaPatih di Hastina nama gelarnya adalah Raden Trigantalpati atau lebih populer dengan nama Haryo Sengkuni. Selain menduduki jabatan tinggi sebagai maha patih di Hastina, Sengkuni adalah adik ipar Raja Hastina Destarastra. Melihat kedudukannya yang demikian tinggi di Kerajaan Hastina, patutlah jika Sengkuni adalah seorang negarawan.
Tetapi kita ketahui walaupun Sengkuni mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Hastina, pada hakekatnya ia bukanlah seorang negarawan sejati. Tetapi lebih pas jika ia adalah profokator sejati. Karena sumber perseteruan Hastina dengan keluarga Pandawa adalah ulah Sengkuni, yang memprofokasi keluarga Hastina agar selalu memusuhi para Pandawa. Ia berwatak dengki dan pendendam.
Sengkuni tidak pantas disebutkan sebagai seorang negarawan, karena seorang negarawan haruslah memiliki watak dan perilaku yang terpuji selalu berjuang untuk kepentingan rakyatnya, mengisi dengan pemahaman dan pengetahuan yang luhur kepada masyarakat, mengisi nurani masyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesantunan, termasuk memiliki kesantunan dalam berbicara. Sedangkan Patih Sengkuni sebaliknya.
Di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, ternyata ada salah seorang wakil ketua DPR yang sama dengan sifat-sifat Sengkuni. Siapa lagi kalau bukan Drs Fadli Zon. Jabatannya dalam struktur jabatan di republik ini sudah sangat tinggi. Ia adalah pejabat negara. Sehingga seharusnya ia memiliki sifat-sifat kenegarawanan. Akan tetapi jabatan yang disandangnya sebagai ketua DPR RI tidak sejalan dan seirama dengan perilaku nya.
Sebagai wakil ketua DPR, cara bicaranya dapat disebutkan Fadli Zon manusia yang tidak punya tatakrama dan etika tidak punya fatsun politik dan sopan santun ketimuran dalam melontarkan kritik kepada Presiden. Apa dalam pikirannya tidak sedikitpun nyantel bahwa Jokowi adalah Presiden RI, pilihan seluruh rakyat Indonesia. Beliau dipilih sebagai Presiden karena dipercaya oleh rakyat untuk memimpin negeri ini, bukan untuk dilecehkan dan dihina. Menghina Presiden Jokowi, sama saja menghina seluruh rakyat Indonesia. Melecehkan Jokowi sama saja melecehkan lambang negara, samasaja melecehkan konstitusi.
Selain itu sekelas Fadli Zon mustahil tidak mengetahui dampak politis yang ditimbulkannya akibat mulutnya yang dibuka bebas berkeliaran itu. Jika yang mengeluarkan kata-kata seorang tukang becak, dampaknya tidaklah berarti. Akan tetapi yang berbicara itu adalah salah seorang wakil Ketua Lembaga Tinggi negara DPR.
Apakah memang Fadli Zon sudah tumpul nalar sehatnya, sehingga tidak berpikir jauh kedepan. Apa saja akibatnya bila dengan mulutnya yang seenaknya cuap-cuap itu menyebabkan hubungan antara legislatif dan eksekutif menjadi terganggu, menjadi tidak harmonis, dan dapat meluas hubungan antar lembaga secara lebih luas akan mengalami hambatan. Bukankah ketidakharmonisan antara Eksekutif dengan Legislatif dapat menghambat jalannya roda penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Akankah nasib Fadli Zon sama dengan Haryo Sengkuni dalam percaturan permainan politiknya di Hastina berakhir dengan kekalahannya, akibat sifat-sifat dengkinya kepada Pandawa. Apakah Fadli juga akan mengalami kekalahan politik akibat parlemen berbalik arah kepada Jokowi. Ia tidak menyadari mengecilkan arti Jokowi sama saja dengan mengecilkan arti kemenangan Jokowi sebagai Presiden. Seperti Haryo Suman pada awalnya sangat mengecilkan arti pandawa tetapi pada ujungnya ia sendiri yang menyerah kalah. Demikian pula Fadli Zon sangat mengecilkan arti sosok Jokowi yang kerempeng, hanya membalas setiap hinaan dengan Ra po po.