Whhoooooaaammmm....!!
Baru bangun tidur..hehe.
Apa kabar, teman-teman? Baik-baik aja kan, saya tinggal jalan-jalan lama. Yup, bener sekali. Udah lama banget saya gak posting tulisan di blog kesayangan yang mulai banyak sarang laba-labanya ini :D
Beberapa bulan belakangan, saya lagi asik bergelut dengan "dunia hitam", eits bukan jadi dukun santet ya, tapi saya lagi jatuh cinta pada KOPI. Saya benar-benar senang sekali pada "Si Hitam" yang satu ini, ada begitu banyak hal baru, mulai dari yang simpel sampai yang rumit, ada banyak orang baru yang saya kenal berkat kopi. In a fun way, it's making my life more colorful.
Oke, saya mulai cerita sambil minum kopi ya..., Jadi gini...
Semenjak tinggal di Jakarta, secara alami saya sering singgah ke beberapa kota di Indonesia, untuk bertemu dengan orang-orang yang menggeluti dunia kopi. Tak pernah lupa juga, saya sempatkan untuk mencoba beberapa kedai kopi (atau mau disebut "cafe") di sana. Mulai dari Bogor, Bandung, Yogyakarta, Bali, Riau, Balikpapan dan beberapa kota di daerah asal saya, Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Aaarrgh.. saya masih punya hutang buat berkunjung ke Aceh dan Berastagi. Mudah-mudahan segera bisa menepati janji. amin
Gaya Ngopi Yang Berbeda
Beda lagi di Jember, meski ada kedai yang menyajikan kopi dengan profil light roasted, tapi kebanyakan adalah kopi-kopi medium roasted atau paling terang light to medium roasted. Malah ada yang ada yang medium to dark, biasanya untuk kopi tubruk (dan minumnya dicampur gula). Beberapa obrolan dengan pemilik kedai, katanya gaya ngopi di Jember suka dengan kopi yang strong (meski saya tidak paham kopi yang strong itu kayak gimana rasanya, mungkin kopi yang bisa bikin pria perkasa ya..hehe). Tapi satu persamaan yang saya temukan adalah gaya ngopi di Jember suka dengan kopi yang ada rasa pahitnya. Mungkin hidupnya sudah terlalu manis, makanya butuh sedikit rasa pahit ya :D
Obrolan soal kopi antar penikmat dan penyeduh atau sesama penikmat kopi juga tidak seberat di Jakarta. Rata-rata kedai kopi menjadi tempat cangkruk (nongkrong) bareng teman-teman atau pacar tanpa ada obrolan soal kopi. Beberapa minggu lalu saya berkunjung ke salah satu kedai kopi di Jember, dan rasanya senang sekali, ada beberapa pengunjung yang menikmati kopi sambil ngobrol tentang kopi. Jadi ikutan ngobrol deh..hehe
Saat ke Riau dan Balikpapan juga saya menemui hal yang mirip. Budaya nongkrong di kedai kopi sudah mengakar, terlihat dari banyak kedai-kedai kopi yang menyajikan kopi-kopi yang disajikan dengan cara sophisticated. Ada yang pakai mesin espresso bagus nan mahal (untuk ukuran dompet saya) dan juga manual brewing. Tapi, obrolan soal kopi masih belum banyak terdengar. Tapi memang begitu lah salah satu peran kopi, secangkir minuman nikmat yang tak perlu diperdebatkan, cukup nikmati saja setiap sesapanmu.
(puisi ngarang sendiri..hehe)
Idealisme vs Realisme
Ada kedai yang memegang idealisme dalam teknik penyeduhan, misalnya hanya menggunakan teknik manual brewing saja, membuat espresso atau latte saja juga manual. Banyak rasionalisme kenapa pemilik kedai tidak mau pakai mesin espresso, mulai dari idealisme diri sampai persoalan biaya. Ada juga yang idealis memakai kopi-kopi dari petani Indonesia saja (which is saya suka ini), gak mau pakai kopi impor. Atau malah ada juga kedai yang hanya memakai kopi lokal daerahnya saja. Bahkan ada kedai yang hanya menjual minuman kopi murni saja, tidak ada menu makanan!
Kedai-kedai seperti itu saya sebut sebagai "Idealis". Mereka memiliki keinginan untuk delivering filosofi dan idealisme kopi mereka kepada pasar (konsumen). Tidak menjual apapun yang laku, tapi menjual apa yang mereka sukai.
Di sisi yang lain, beberapa kedai kopi memiliki konsep yang berbeda. Mereka memilih untuk tidak hanya menjual kopi murni saja, tapi juga berbagai menu kopi yang lain, seperti latte, afogato, serta menu makanan. Kedai-kedai seperti ini yang saya sebut "Realis". Mereka merespon apa yang diminta pasar, menjual apa yang laku dijual, tapi tetap memperhatikan kualitas. Artinya, kopi yang dijual bukan asal kopi, tapi memang kopi dari biji berkualitas dan diseduh oleh tangan terlatih, rasanya tentu saja juga enak.
Nah, sebenarnya ada 1 lagi konsep usaha kedai kopi yang belakangan banyak terdengar di berita atau sosial media, yaitu konsep kedai kopi rumahan. Sesuai namanya, tempatnya adalah di rumah sendiri. Mendesain rumah menjadi sebuah kedai kopi. Pengalaman ngopi yang diberikan pada pelanggan cukup unik, karena akan merasa seperti ngopi di rumah sendiri.
Biasanya konsep seperti ini cukup sederhana, tidak ada peralatan seperti mesin espresso yang mahal atau pun mesin grinder yang mewah. Sederhana tapi soal rasa, kopinya juga enak, karena memang mereka menggunakan biji kopi berkualitas yang diperoleh dari para roastery handal atau pun bisa jadi roasting sendiri. Saat di Yogyakarta dan Jember saya sempat mencoba kedai kopi dengan konsep seperti ini.
Dampak Baik Untuk Petani Kopi Indonesia
Antusiasme masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa dan Bali akan semakin besar dan terus meningkat. Permintaan terhadap biji kopi berkualitas akan meningkat secara cepat. Dampaknya, petani sebagai rantai pertama pemasok kopi akan mendapat banyak pilihan untuk menjual kopinya. Harga kopi akan membaik seiring membaiknya proses paska panen yang dilakukan oleh petani. Para penikmat kopi di Indonesia tidak lagi menjadi pembeli kopi luar negeri, karena kopi yang ditanam oleh petani kita sendiri sudah berkualitas tinggi dan menghasilkan cita rasa luar biasa nikmat.
Peminum kopi di Indonesia sudah semakin kritis, kini mereka tidak hanya membeli kopi, tapi juga kualitas + keaslian asal + cerita unik dibalik kopi yang mereka minum. Pertanyaannya, sudah siapkah petani kopi Indonesia menghadapi fenomena seperti ini? Sudah sadarkah petani kopi kita bahwa ada arus permintaan besar yang sedang menuju ke kebun kopi mereka? Sudah cukupkah produksi kopi petani kita untuk memenuhi permintaan penikmat kopi di negeri sendiri?
Tentu kamu punya jawaban sendiri. Tapi biarkan saja waktu yang menjawabnya...
Sampai jumpa lagi di tulisan saya berikutnya :D
Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan gaya ngopi kota mana yang lebih baik atau tidak, karena setiap kota punya budaya dan selera ngopi yang berbeda. Dan perbedaan di setiap kota itu memberikan warna baru bagi perjalanan saya, saya suka itu :).  Tulisan ini sebelumnya telah dipublkasikan di blog pribadi penulis yang bisa dilihat pada tautan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H