Kembali lagi terjadi pemukulan terhadap seorang wartawan yang hendak meliput. Sudah kita ketahui bersama kabar tentang peristiwa ini, karena hal ini juga sudah banyak diberitakan oleh berbagai media nasional maupun lokal, online maupun cetak.
Seorang wartawan yang hendak meliput jatuhnya kecelakaan pesawat Hawk 200 yang jatuh di permukiman penduduk di Pandau, Pekanbaru, Riau, Selasa (16/10) dipukuli oleh personel TNI Angkatan Udara (AU) yang sedang berada dilokasi kejadian. Disini saya menilai peristiwa ini dari kejauhan, karena saya bukanlah orang yang berada dilokasi saat peristiwa terjadi. Namun melihat dari tayangan berita di televisi, pemukulan wartawan oleh aparat TNI AU tersebut terjadi dengan brutal.
[caption id="attachment_211736" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber foto: www.tribunnews.com"][/caption]
Saya melihat peristiwa ini dari sudut pandang Jurnalisme Warga. Jadi saya lebih menggaris bawahi pada pernyataan Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Azman Yunus di Jakarta, Selasa (16/10) dalam konferensi pers yang dilakukannya dan ditayangkan oleh Metro TV tidak lama setelah peristiwa pemukulan terjadi. Menyimak pemaparannya pada intinya Marsma meminta maaf, dan sempat mengatakan bahwa “ada juga dugaan bahwa orang-orang yang datang mengambil gambar tidak semuanya wartawan. Sebab, kalau wartawan yang bertugas di Pekanbaru, pihak Lanud sangat mengenal.” ungkapnya.
Lantas timbul pertanyaan, apakah yang bukan wartawan (red: warga) tidak boleh meliput peristiwa tersebut? Sebagai warga biasa dengan adanya konsep Jurnalisme Warga atau Citizen Journalism setiap warga bisa melakukan kegiatan jurnalisme (meliput, mengolah, dan menyebarkan informasi atau berita). Kejadian itu terjadi dipemukiman warga, terjadi di ruang publik, jadi siapa saja berhak untuk meliputnya. Hanya dalih belaka menurut saya sebagian alasan dari pemukulan wartawan tersebut karena adanya warga yang ikut meliput. Sejujurnya itu hanya karena tidak ingin peristiwa tersebut terlalu terekspos oleh media.
Masalah keamanan atas kekhawatiran meledaknya pesawat, lantas kemudian personel TNI AU bermaksud untuk menjauhkan warga dan wartawan dari lokasi kejadian, setidaknya bisa dilakukan dengan baik-baik, tidak harus dengan cara pemukulan. Kembali saya menyayangkan pernyataan Marsma yang menjadikan warga sebagai tameng atau alasan atas terjadinya pemukulan tersebut, padahal sejatinya warga pun juga berhak untuk meliput sebuah peristiwa.
Perlu diapresiasi, dalam grup Facebook “Komunitas Citizen Journalist Indonesia”, saya mendapatkan tautan dari akun Facebook “Sekretariat Ppwi”, dengan statusnya bahwa “PPWI Nasional menyampaikan keberatan atas perlakuan pihak TNI-AU terhadap warga masyarakat (termasuk wartawan) yang berupaya mengumpulkan informasi atau data tentang bencana jatuhnya pesawat AU di Pekanbaru, Riau. Pesawat perang itu adalah milik rakyat, sehingga setiap WNI berhak mengetahui apa yg terjadi.”
Pemukulan atau penganiayaan terhadap wartawan atau warga masyarakat yang hendak meliput tidak boleh terulang lagi. Para stakeholder pemerintahan, lembaga-lembaga negara, institusi dan instansi, harusnya juga menyadari bahwa saat ini bukan hanya wartawan yang dapat meliput berita, namun warga biasa juga bisa ikut berpartisipasi aktif meliput dan mengabarkan suatu peristiwa. Warga kini bukan lagi hanya menjadi objek pemberitaan, namun juga bisa menjadi objek sekaligus subjek dari sebuah berita.
Imam FR Kusumaningati
Pegiat Jurnalisme Warga, Jurnalis Warga www.akumassa.org
Penulis buku Jurnalisme Warga berjudul “Jadi Jurnalis Itu Gampang!!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H