Dear Teacher : What Your Neurodiverse Students Need You to Know
Bayangkan ini...
Seorang anak duduk di kelas Anda. Matanya menatap papan tulis, tapi huruf-huruf di sana bukanlah huruf yang sama seperti yang Anda lihat. Bagi Anda, itu deretan kata yang jelas dan rapi. Tapi bagi dia? Itu seperti hujan alfabet yang berjatuhan, berputar-putar, menari liar, tanpa bentuk, tanpa arti.
Atau, bayangkan anak lain. Duduk di kursinya, tubuhnya diam, tapi pikirannya melompat-lompat. Satu detik dia fokus ke penjelasan Anda, detik berikutnya pikirannya sudah terbang ke langit-langit kelas, ke suara motor di luar jendela, ke bekas noda di buku temannya. Fokusnya seperti remote yang terus menekan tombol ganti channel tanpa henti.
Itu dunia saya dulu. Dan itu, adalah dunia yang sedang dihadapi oleh beberapa siswa Anda saat ini.
Hari ini saya berdiri di sini, bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai survivor. Saya tumbuh dengan disleksia dan ADHD, dua label yang dulu saya pikir adalah hukuman. Tapi sekarang? Mereka adalah kekuatan saya.
Dan saya ingin membagikan sesuatu yang sangat penting kepada Anda, para guru hebat:
Murid neurodiverse Anda tidak butuh dikasihani. Mereka butuh dipahami.
Data menunjukkan, sekitar 8-15% siswa di kelas Anda adalah neurodiverse (Shaywitz, 2003). Itu bukan angka kecil. Itu berarti, jika Anda mengajar 30 anak, setidaknya 3 sampai 5 di antaranya berpikir, belajar, dan memahami dunia dengan cara yang sama sekali berbeda.
Tapi inilah masalahnya:
Berapa banyak dari mereka yang benar-benar mendapatkan ruang untuk menjadi diri mereka sendiri?
Berapa banyak dari mereka yang dianggap malas, bodoh, nakal hanya karena cara belajar mereka tidak cocok dengan sistem?