Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kecemasan Matematika : Ketika Angka menjadi Momok

25 Januari 2025   16:27 Diperbarui: 25 Januari 2025   11:32 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecemasan Matematika : Ketika Angka menjadi Momok

Aku selalu merasa angka adalah musuh yang tidak kasat mata. Sejak kecil, matematika adalah pelajaran yang membuatku gelisah bahkan sebelum masuk kelas. Ketika teman-temanku dengan santainya menjawab soal matematika, aku hanya bisa memandangi angka-angka yang seperti menari di depanku. Aku bukan hanya merasa tidak paham, tetapi merasa tidak layak untuk paham. Kecemasan ini seperti rantai tak berujung aku takut angka, aku menghindarinya, dan aku semakin buruk dalam memahami mereka. Begitulah lingkaran setan itu terus berjalan.

Sebagai seorang yang didiagnosis dengan disleksia dan ADHD sejak kecil, tekanan yang aku rasakan dalam menghadapi angka berbeda dari orang lain. Disleksia membuatku kesulitan memahami pola angka dan simbol, sementara ADHD membuat fokusku mudah teralihkan. Kombinasi ini menciptakan medan perang di pikiranku setiap kali aku harus berhadapan dengan soal matematika. Tidak hanya kecemasan, tetapi rasa takut akan kegagalan yang mendalam menyelimuti.

Teori dari para ahli memperkuat pengalaman ini. Menurut Dr. Mary Helen Immordino-Yang, emosi memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembelajaran. Ketika seorang anak merasa tertekan atau takut, seperti yang sering dirasakan dalam kecemasan matematika, aktivitas otak di bagian yang bertanggung jawab untuk pemecahan masalah menjadi terganggu. Rasa takut yang aku alami membuatku sulit mengakses bagian otakku yang seharusnya digunakan untuk memahami konsep angka.

Penelitian oleh psikolog Sian Beilock dari University of Chicago menunjukkan bahwa kecemasan matematika sering kali dimulai dari pengalaman negatif di masa kecil. Guru yang terlalu menekan atau lingkungan belajar yang tidak mendukung dapat membuat anak-anak mengasosiasikan angka dengan kegagalan. Aku masih ingat jelas bagaimana guruku mengetuk meja dengan nada kesal karena aku membutuhkan waktu lebih lama untuk menjawab soal. Ketukan itu bukan sekadar suara; bagiku, itu adalah pengingat bahwa aku berbeda, bahwa aku tidak cukup baik.

Yang lebih mengejutkan, kecemasan matematika tidak hanya berhenti pada individu. Penelitian Sian Beilock juga menemukan bahwa kecemasan ini bisa "diturunkan" oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Orang tua yang memiliki kecemasan terhadap angka sering tanpa sadar menanamkan rasa takut yang sama pada anak-anak mereka melalui bahasa atau tindakan sehari-hari. Ini seperti lingkaran yang terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Namun, aku belajar bahwa lingkaran ini bisa diputus. Sebagai guru bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, aku mulai memahami bahwa menciptakan lingkungan yang suportif adalah kunci. Penelitian dari Stanford University menemukan bahwa metode bimbingan satu-satu dengan pendekatan terapi eksposur bisa membantu siswa menghadapi ketakutan mereka. Ketika anak-anak diberi ruang untuk membuat kesalahan tanpa takut dihakimi, mereka mulai melihat matematika sebagai sesuatu yang dapat dikuasai, bukan sesuatu yang harus dihindari.

Aku juga mulai mempraktikkan teknik pernapasan sederhana untuk mengatasi rasa panik ketika berhadapan dengan angka. Tarik napas dalam-dalam, tahan beberapa detik, lalu hembuskan perlahan. Teknik ini terdengar sederhana, tetapi efeknya sangat besar. Menurut penelitian oleh Dr. Andrew Huberman, teknik pernapasan dapat membantu menenangkan sistem saraf, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan fokus.

Selain itu, intervensi dini adalah elemen penting bagi anak-anak dengan kondisi seperti disleksia atau diskalkulia. Dengan bantuan profesional yang memahami kebutuhan mereka, anak-anak ini dapat belajar bahwa angka bukanlah musuh, melainkan alat untuk memahami dunia.

Kini, aku tidak lagi melihat angka sebagai momok yang harus kuhindari. Aku memang masih merasa cemas sesekali, tetapi aku tahu bahwa rasa takut itu bukan lagi sesuatu yang harus aku takuti. Lingkaran setan kecemasan matematika telah kutinggalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun