Seri Percy Jackson & the Olympians karya Rick Riordan Isnpirasi Hidup Dyslexia dan ADHD
Saat aku duduk di bangku sekolah menengah, membaca adalah salah satu hal yang paling aku benci. Aku bukan pembaca yang baik, dan itu terasa seperti beban yang tak pernah hilang. Dibandingkan dengan teman-teman sebayaku, nilai pemahamanku dalam membaca selalu lebih rendah. Saat guru memberikan tugas membaca, aku lebih sering merasa frustrasi daripada memahami isi teks.
Malam itu, aku ingat diberi tugas membaca salah satu bab dari buku Night karya Elie Wiesel. Aku menghabiskan satu jam penuh membaca atau lebih tepatnya, berjuang membaca. Namun, ketika aku kembali ke kelas keesokan harinya, aku baru sadar bahwa aku telah membaca bab yang salah. Ketika guruku bertanya tentang isi bab yang kubaca, aku terdiam. Bukan hanya karena salah membaca, tapi juga karena aku benar-benar tidak memahami apa yang aku baca.
Saat itu, aku merasa seperti orang bodoh. Aku mencoba, sungguh mencoba, tapi tetap saja gagal. Bagaimana tidak ? Huruf-huruf di buku seperti menari-nari, berpindah tempat, dan sulit kumengerti. Otakku terlalu sibuk, pikiran melompat dari satu ide ke ide lain, dan aku tidak bisa fokus untuk memahami apa yang tertulis.
Menurut Shaywitz (2003) dalam bukunya Overcoming Dyslexia, disleksia bukanlah tanda kurangnya kecerdasan, melainkan cara otak yang berbeda dalam memproses bahasa. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia memiliki kesulitan membaca karena perbedaan struktural di area otak yang bertanggung jawab atas pengolahan fonologis. ADHD, di sisi lain, sebagaimana dijelaskan oleh Barkley (2014), adalah gangguan neuropsikiatri yang memengaruhi fungsi eksekutif, termasuk perhatian dan pengendalian impuls.
Kombinasi disleksia dan ADHD sering kali menciptakan tantangan unik. Siswa seperti aku tidak hanya kesulitan memahami teks tertulis tetapi juga merasa sulit untuk mempertahankan perhatian dalam tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Dalam lingkungan pendidikan yang sering menuntut standar homogen, perbedaan ini membuat kami merasa seperti "anak bermasalah," bukan anak yang membutuhkan pendekatan berbeda.
Namun, sebuah titik terang muncul dalam hidupku sebuah seri buku yang mengubah segalanya. Seri Percy Jackson & the Olympians karya Rick Riordan datang bagai angin segar.
Aku mendengar bahwa buku itu terinspirasi dari perjuangan anak penulisnya yang memiliki ADHD dan disleksia. Dalam ceritanya, Percy Jackson adalah anak yang sering dianggap bermasalah di sekolah, namun sebenarnya memiliki kekuatan besar yang tersembunyi. Disleksia Percy adalah bukti bahwa ia mampu membaca bahasa Yunani kuno, dan ADHD-nya membantunya tetap siaga di tengah bahaya.
Saat membaca kisahnya, aku merasa seperti melihat cerminan diriku sendiri. Aku memahami rasa frustrasi Percy saat ia merasa tidak cukup baik di sekolah. Aku bisa merasakan perjuangannya untuk memahami dunia yang terasa begitu sulit. Tapi yang membuatku terpukau adalah bagaimana Percy mengubah kelemahannya menjadi kekuatan.
Buku ini mengubah cara pandangku terhadap membaca. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa membaca bisa menjadi menyenangkan dan bahkan memberdayakan. Aku mulai memahami bahwa meskipun otakku bekerja dengan cara yang berbeda, itu bukan kelemahan melainkan keunikan.