"Bahasaku, Pikiranku : Kekuatan Menamai Dunia sebagai Disleksia-ADHD"
Pernahkah kamu merasa terjebak oleh kata-kata yang bahkan bukan milikmu? Kata-kata yang dipinjam dari orang lain, dari guru, teman, atau masyarakat, yang memaknai dirimu bukan seperti yang sebenarnya? Saya pernah dan itu menyakitkan.
Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya hidup bertahun-tahun dengan istilah yang tidak hanya salah, tetapi juga merusak. "Pemalas." "Tidak fokus." "Tidak disiplin." Kata-kata itu seperti duri yang menancap dalam, memperparah api rasa malu yang terus menyala di pikiran saya. Kata-kata ini bukan sekadar deskripsi; mereka menjadi identitas yang salah, yang lama-kelamaan saya percayai.
Namun, segalanya berubah ketika saya mengenal istilah neurodivergensi dan memahami otak saya sendiri. Menamai apa yang terjadi di kepala saya disleksia dan ADHD adalah awal dari perjalanan besar menuju penerimaan diri. Bahasa yang saya gunakan untuk menggambarkan pengalaman saya menjadi lebih spesifik, lebih empatik, dan yang paling penting, lebih benar.
Contoh sederhananya adalah bagaimana saya mengubah cara saya mendeskripsikan diri. Saya bukan "tidak mampu fokus," saya hanya memiliki cara berpikir yang melompat-lompat, penuh ide. Saya bukan "pelupa," tetapi sering kali otak saya sibuk dengan begitu banyak hal sehingga sulit untuk menyimpan semuanya sekaligus. Bahasa yang baru ini tidak hanya membuat saya lebih memahami diri sendiri, tetapi juga memberi ruang bagi orang lain untuk memahami saya dengan cara yang lebih positif.
Ada kekuatan luar biasa dalam mengganti kata-kata yang merusak dengan bahasa yang memberdayakan. Misalnya:
- "Kekacauan" menjadi "keanekaragaman ide."
- "Kurang disiplin" menjadi "pendekatan unik dalam menyelesaikan tugas."
- "Tidak fokus" menjadi "pikiran yang selalu sibuk mencari solusi."
Bahasa yang kita pilih memengaruhi cara kita melihat diri sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita. Lebih dari itu, bahasa juga menjadi alat untuk melawan stigma. Saat saya mulai menggunakan istilah neurodivergensi-affirming, saya seperti mendapatkan kompas baru yang menuntun saya ke arah penerimaan diri dan rasa percaya diri.
Menamai sesuatu dengan tepat bukan hanya soal istilah; itu adalah soal memberi makna yang benar pada pengalaman. Bagi saya, ini bukan sekadar permainan kata-kata. Ini adalah bentuk pemberontakan terhadap persepsi yang salah, sebuah pernyataan bahwa saya lebih dari sekadar label yang diberikan orang lain.
"Bahasa adalah kunci yang membebaskan; memilih kata yang tepat berarti memilih jalan menuju penerimaan diri."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H