Disleksia dan ADHD: Dua Dunia dalam Satu Otak
Saat saya kecil, disleksia dan ADHD adalah dua sisi dari koin yang sama mereka hadir bersamaan, namun memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Bagi saya, keduanya menciptakan tantangan yang saling melengkapi sekaligus memperparah. Ketika berusaha membaca, huruf-huruf di halaman terasa seperti hidup, menari tanpa aturan, membuat saya lelah, frustrasi, bahkan terkadang menangis. Di sisi lain, ketika saya mencoba mendengarkan pelajaran, pikiran saya meloncat ke berbagai arah, berpindah dari satu ide ke ide lainnya tanpa kendali. Ketidakmampuan saya untuk fokus sering disalahartikan sebagai kenakalan atau kurangnya rasa hormat terhadap guru.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hampir 50% anak-anak dengan ADHD juga memiliki gangguan belajar seperti disleksia. Saya adalah bagian dari statistik itu statistik yang seringkali terlupakan, tertutupi oleh stigma dan minimnya pemahaman. Kedua kondisi ini, meskipun berbeda, memiliki gejala yang tumpang tindih. Kesulitan membaca dengan lancar, tulisan tangan yang berantakan, atau ketidakmampuan memahami apa yang telah dibaca adalah hal yang sering saya alami.
Sebagai seorang anak dengan disleksia, saya sering merasa dunia sekolah adalah medan perang. Teman-teman saya melesat maju, dengan mudah membaca dan menulis, sementara saya tertatih-tatih hanya untuk memahami satu kalimat. Tugas-tugas sederhana seperti membaca paragraf atau mengeja kata terasa seperti mendaki gunung. ADHD memperparah kesulitan ini dengan menambahkan lapisan tantangan baru: sulitnya bertahan fokus, kecenderungan untuk terganggu oleh hal-hal kecil, dan rasa gelisah yang terus-menerus. Kombinasi keduanya menciptakan lingkaran setan kesulitan akademik mengikis rasa percaya diri saya, yang pada gilirannya memunculkan kecemasan, rasa takut gagal, dan bahkan depresi.
Namun, memahami perbedaan antara disleksia dan ADHD adalah kunci untuk mengelola kedua kondisi ini. Disleksia adalah gangguan belajar yang berkaitan dengan kesulitan membaca, mengeja, atau menulis. Ini adalah masalah neurologis di mana otak saya memproses huruf dan suara secara berbeda. Sementara itu, ADHD adalah kondisi yang memengaruhi fokus, perhatian, dan perilaku secara keseluruhan. Keduanya sering terlihat seperti saling berkaitan, tetapi sebenarnya memiliki mekanisme yang berbeda.
Saya mengalaminya langsung. Ketika mencoba membaca, otak saya bekerja keras untuk menerjemahkan huruf menjadi suara proses yang bagi banyak orang terasa alami, tetapi bagi saya membutuhkan upaya luar biasa. Di sisi lain, saat mencoba menyelesaikan tugas, ADHD membuat saya sulit bertahan pada satu pekerjaan tanpa tergoda untuk melompat ke hal lain. Hasilnya, saya sering menyelesaikan sesuatu dengan terburu-buru atau bahkan tidak selesai sama sekali.
Meskipun perjalanan saya penuh tantangan, saya mulai melihat sisi lain dari kondisi ini. Disleksia mengajarkan saya pentingnya ketekunan. Meski membaca adalah tantangan, berbicara dan bercerita menjadi kekuatan saya. Saya menemukan bahwa ide-ide saya lebih mudah dipahami melalui kata-kata lisan daripada tertulis. ADHD, meskipun sering membuat saya gelisah, juga menjadi sumber kreativitas. Pikiran saya yang melompat-lompat sering membawa saya pada ide-ide baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain.
Bagi siapa pun yang membaca ini, terutama mereka yang hidup dengan disleksia dan/atau ADHD, ketahuilah bahwa Anda tidak sendirian. Dunia mungkin memandang kita dengan label, tetapi label itu tidak mendefinisikan siapa kita sebenarnya. Tantangan ini bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari identitas kita yang penuh warna.
Setiap hari adalah perjalanan untuk memahami diri sendiri, dan setiap langkah kecil adalah kemenangan. Saya percaya, di balik tantangan-tantangan ini, ada kekuatan tersembunyi yang menunggu untuk ditemukan.
"Disleksia mengajarkan saya kesabaran, ADHD mengajarkan saya kreativitas, dan keduanya bersama-sama membuat saya memahami bahwa setiap tantangan adalah jalan menuju potensi yang luar biasa."