Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Sebut Aku "Berkebutuhan Khusus"

6 Januari 2025   11:20 Diperbarui: 6 Januari 2025   11:20 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan Sebut Aku 'Berkebutuhan Khusus'

Sebagai seseorang yang mencintai bahasa dan mengamati bagaimana maknanya berubah dalam masyarakat, saya percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa. Kata-kata tidak hanya mencerminkan pandangan kita, tetapi juga membentuk cara kita memperlakukan orang lain. Banyak istilah yang dulu kita gunakan tanpa pikir panjang kini dianggap ofensif, dan itu tidak mengubah fakta bahwa kata-kata tersebut selalu menyakitkan, bahkan jika kita tidak menyadarinya saat itu.

Saya masih ingat betapa sakitnya ketika saya sering disebut dengan kata-kata menghina oleh teman sebaya, bahkan keluarga. Ketika itu, Disleksia -ADHD saya belum terdiagnosis, satu-satunya gangguan atau kesulitan yang diketahui adalah gangguan hyperaktivitas dan kurangnya fokus dan atensi. Namun, label tersebut membuat saya merasa tidak berharga dan tidak mampu menjadi "cerdas."

Perdebatan tentang budaya dan sensitivitas generasi muda memang sering kali menjadi bahan diskusi panas. Namun, saya percaya bahwa kita harus selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam memilih kata-kata yang kita gunakan.

Namun, saya juga menyadari bahwa banyak dari kita berasal dari generasi atau latar belakang bahasa yang berbeda, sehingga mungkin tidak tahu istilah apa yang sebaiknya digunakan. Untuk itu, saya ingin berbagi beberapa istilah yang dianggap menyakitkan oleh komunitas disabilitas, sekaligus memberikan alternatif yang lebih inklusif dan ramah.

Istilah yang Perlu Kita Hindari dan Pengganti yang Lebih Baik

  1. 'Berkebutuhan Khusus'
    • Mengapa Istilah Ini Bermasalah:
      Frasa ini sering kali mereduksi seseorang menjadi "berbeda" tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya. Banyak penyandang disabilitas merasa bahwa istilah ini memberi kesan mereka memerlukan perlakuan istimewa, padahal yang mereka butuhkan adalah akses yang adil dan setara.
    • Alternatif: Gunakan istilah spesifik seperti "penyandang disabilitas" atau "individu dengan kebutuhan aksesibilitas."
  2. 'Normal' vs. 'Abnormal'
    • Mengapa Istilah Ini Bermasalah:
      Kata "normal" menciptakan dikotomi yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai "tidak normal," yang menguatkan stigma.
    • Alternatif: Hindari membandingkan dengan "normal." Gunakan deskripsi objektif seperti "individu tanpa disabilitas" atau cukup gunakan konteks yang relevan tanpa menyebutkan perbandingan.
  3. 'Cacat' atau 'Defisit'
    • Mengapa Istilah Ini Bermasalah:
      Istilah ini terlalu fokus pada kekurangan dan sering kali mengabaikan kemampuan dan potensi seseorang.
    • Alternatif: Gunakan istilah "penyandang disabilitas" atau spesifik sesuai konteks, seperti "individu dengan autisme" atau "individu dengan gangguan pendengaran."
  4. 'Inspirasi' untuk Aktivitas Biasa
    • Mengapa Istilah Ini Bermasalah:
      Memuji penyandang disabilitas hanya karena mereka melakukan aktivitas sehari-hari menciptakan standar yang rendah dan merendahkan mereka.
    • Alternatif: Fokus pada pencapaian mereka tanpa meromantisasi disabilitasnya.

Mengubah Bahasa, Mengubah Perspektif

Perubahan bahasa mungkin tampak seperti hal kecil, tetapi dampaknya besar. Menggunakan kata-kata yang lebih inklusif dan ramah bukan sekadar soal "menjaga perasaan" orang lain, melainkan cara kita menunjukkan rasa hormat dan empati.

Komunitas penyandang disabilitas telah terlalu lama menghadapi stigma dan label yang menyakitkan. Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, mengambil langkah untuk memperbaiki cara kita berbicara tentang mereka. Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih inklusif, di mana semua orang merasa dihargai dan diakui, bukan hanya karena kemampuan mereka, tetapi karena mereka adalah manusia yang berharga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun