Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

UN Ada atau Tidak, Peduli Kalian Apa ?

3 Januari 2025   17:37 Diperbarui: 3 Januari 2025   17:37 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UN Ada atau Tidak, Peduli kalian Apa ??

Di tengah hiruk-pikuk suara yang lantang menolak Ujian Nasional dengan alasan anak-anak stres karena drilling yang melelahkan, kembalikan Ujian Nasional agar anak ada tujuan dalam belajar, ada hal yang lebih mendalam yang sering kita abaikan. Kita sering berbicara tentang tekanan ujian, namun lupa bahwa tekanan yang lebih besar justru terjadi di dalam kelas kita sendiri setiap hari, setiap jam.

Apakah kalian tahu? Kita masih sering membuat murid-murid kita merasa cemas di kelas. Mereka takut terhadap mata pelajaran yang kita ajarkan, bukan karena tidak ingin belajar, tapi karena kita sering gagal memanusiakan mereka. Kita sering mengesampingkan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar, tanpa benar-benar memahami apa yang mereka alami.

Sebagai seorang penyandang disleksia, saya adalah bukti nyata dari perjuangan ini. Saya, dan anak-anak lain dengan kebutuhan khusus, terus berjuang di sistem pendidikan yang sering kali hanya melihat angka di atas kertas. Kami tidak bisa mencapai nilai tinggi yang kalian harapkan, bukan karena kami tidak berusaha, tapi karena sistem ini tidak dirancang untuk memahami dan menghargai keunikan kami.

Kalian berbicara tentang menolak atau mengembalikan Ujian Nasional, tapi tahukah kalian bahwa bagi kami, itu semua sama saja? Kami tetap harus berjuang melawan tantangan yang ada di otak kami sendiri, berusaha memahami huruf yang 'menari' atau angka yang tidak pernah masuk akal. Tapi perjuangan kami sering kali tidak dianggap.

Laporan World Bank  masih sedikit guru  memahami anak berkebutuhan khusus, tapi dari jumlah itu, sangat sedikit yang benar-benar mampu menangani mereka. UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak dengan disleksia, diskalkulia, disgrafia, giftedness, hyperlexia, atau dispraksia sering terabaikan karena kurangnya deteksi dini dan asesmen menyeluruh.

Anak-anak spesial ini sering kali dicap malas, bodoh, atau tidak mau belajar. Bahkan, ada pendidik yang secara tidak sadar membully mereka dengan memberi stigma seperti itu. Bagaimana kami bisa belajar jika lingkungan kelas kami saja tidak ramah?

Melalui Dyslexia Keliling Nusantara, saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyak anak spesial yang keluar dari sistem pendidikan formal. Mereka memilih homeschooling atau bahkan meninggalkan Indonesia untuk mencari tempat di mana mereka diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar angka atau objek.

Kita sebagai guru, sekolah, orang tua, pemerintah, dan organisasi profesi sering kali bekerja sendiri-sendiri, saling menyalahkan, dan lupa pada tujuan utama pendidikan. Pendidikan seharusnya membekali anak-anak kita untuk menghadapi tantangan hidup yang sebenarnya, mengajarkan mereka berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menjadi manusia yang utuh.

Jadi, sebelum kita sibuk koar-koar tentang Ujian Nasional, tanyakan pada diri kita sendiri: Apakah kita sudah memberikan hak anak-anak kita di kelas? Apakah kita sudah memahami mereka yang spesial, yang berjuang setiap hari tanpa terlihat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun