Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyatukan dua Dunia : Refleksi Akhir tahun (2)

30 Desember 2024   12:49 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:49 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyatukan Dua Dunia : Refleksi Akhir Tahun 

Menyelami kehidupan sebagai seorang anak berkebutuhan khusus di lingkungan yang menuntut standar tertentu adalah seperti hidup di antara dua dunia yang sering bertabrakan. Di satu sisi, ada perjuangan untuk mengeksplorasi potensi unik yang ingin bebas berkembang. Di sisi lain, ada tuntutan kaku dari sistem yang tidak selalu memahami kebutuhan ini. Sebagai seorang anak, saya hidup dalam benturan ini, sering kali merasa terperangkap di antara kebebasan yang saya dambakan dan harapan yang tak selalu mampu saya penuhi.

Kenangan masa kecil saya penuh dengan rasa keterasingan. Di ruang kelas, saya sering merasa seperti seorang "alien," dikelilingi oleh teman-teman yang tampaknya dengan mudah mengikuti aturan. Sementara itu, saya harus berjuang keras hanya untuk menyelesaikan tugas sederhana seperti membaca atau menulis. Tantangan ini, yang berasal dari disleksia dan ADHD, sering kali disalahartikan sebagai kemalasan atau kurangnya motivasi oleh guru dan teman. Saya menjadi saksi langsung dari apa yang oleh para ahli disebut sebagai "hidden disability"   kecacatan yang tidak terlihat secara fisik, namun nyata adanya.

Sekolah inklusi seharusnya menjadi jembatan yang mempertemukan kebebasan dan tuntutan. Namun, konsep ini sering kali hanya menjadi slogan tanpa makna. Guru dan keluarga yang kurang memahami kebutuhan khusus anak justru dapat memperburuk situasi. Pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa tanpa edukasi yang memadai, mereka yang seharusnya menjadi pendukung malah menjadi hambatan terbesar. Tidak jarang, saya lebih merasa tertekan daripada dibimbing, meskipun niat mereka sebenarnya baik.

Sistem pendidikan kita, yang sering kali mengukur kecerdasan berdasarkan standar tunggal seperti nilai akademik, menempatkan beban berat pada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Padahal, teori kecerdasan majemuk Howard Gardner menunjukkan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda, termasuk intrapersonal, musikal, atau kinestetik. Mengabaikan keunikan ini sama saja dengan menolak potensi yang sebenarnya dapat tumbuh dengan luar biasa.

Bagi anak berkebutuhan khusus, tekanan untuk menyesuaikan diri sering kali melahirkan rasa rendah diri yang mendalam. Label seperti "malas" atau "nakal" menjadi stigma yang sulit dihilangkan. Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya paham, anak-anak ini kerap dipaksa menyembunyikan identitas mereka agar bisa diterima. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan sejati yang ada dalam diri mereka.

Sebagai seorang guru dan praktisi pendidikan kebutuhan khusus, saya belajar bahwa harmoni antara kebebasan dan tuntutan bisa dicapai melalui pemahaman yang mendalam. Edukasi bagi guru, keluarga, dan masyarakat menjadi kunci utama. Teori zone of proximal development dari Vygotsky menunjukkan bahwa dengan bimbingan yang tepat, setiap anak dapat mencapai potensi maksimalnya. Namun, ini hanya mungkin jika kita memberikan kebebasan kepada mereka untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Program pelatihan guru, seminar orang tua, hingga kampanye kesadaran di masyarakat adalah langkah awal untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif. Sekolah sejati bukanlah tempat di mana semua anak dipaksa seragam, tetapi ruang di mana setiap anak merasa dihormati dan didukung untuk menjadi versi terbaik dirinya. Ini adalah tanggung jawab bersama yang harus kita emban dengan penuh kesadaran.

Perjalanan hidup saya, dari seorang anak berkebutuhan khusus yang merasa terasing hingga menjadi guru dan advokat bagi anak-anak lain, adalah bukti bahwa dunia yang bertabrakan ini bisa disatukan. Dengan empati, pemahaman, dan kerja sama, kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya menuntut, tetapi juga mendukung. Mari kita tutup tahun ini dengan tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang yang memberikan kebebasan, bukan batasan, bagi semua anak untuk berkembang dengan cara mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun