Refleksi Akhir Tahun: Menemukan Kekuatan di Balik Keterbatasan
Sepanjang hidup saya, saya sering merasa seperti berada di dunia yang berbeda, dunia yang tidak terlihat oleh orang lain. Huruf-huruf di buku seolah menari di depan mata, bergoyang tanpa arah, sulit dikejar. Saat teman-teman membaca dengan mudah, saya tertinggal, bergulat dengan kata-kata yang tampak seperti teka-teki tanpa akhir. Mereka mungkin tertawa, bukan karena sesuatu yang lucu, tetapi karena saya tampak begitu berbeda.
Tawa mereka yang ringan terasa seperti hujaman berat di hati. Saya tahu mereka tidak bermaksud menyakiti, tetapi ketidaktahuan mereka menambah luka yang saya simpan diam-diam. Di balik senyuman yang saya pasang, ada rasa putus asa, frustrasi, dan lelah yang tak pernah terucapkan. Saya tidak menyalahkan mereka, tetapi saya menyadari betapa pentingnya memahami perbedaan, sesuatu yang tidak diajarkan di sekolah.
Disleksia bukanlah pilihan, melainkan bagian dari diri saya yang selalu hadir, mengintai di setiap halaman buku, setiap soal ujian. Bagi saya, membaca bukanlah hal yang sederhana; itu seperti mendaki gunung yang tak terlihat, dengan jalan yang terus berubah bentuk. Namun, di balik semua itu, saya belajar bahwa perjuangan ini adalah cerita yang layak dibagikan, bukan disembunyikan.
Sistem pendidikan kita sering kali gagal mengenali anak-anak seperti saya. Bukannya menawarkan dukungan, sistem ini justru menciptakan label-label yang menyakitkan: "lamban", "tidak pintar", bahkan "pemalas". Tetapi, saya percaya bahwa label-label ini salah besar. Kami, anak-anak dengan disleksia, hanya membutuhkan cara belajar yang berbeda dan dukungan yang tepat untuk berkembang.
Kini, saya ingin menggugah kesadaran. Anak-anak seperti saya tidak memerlukan belas kasihan; kami membutuhkan kesempatan. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa kami juga mampu, bahwa kami tidak kalah cerdas, hanya berbeda. Sebuah perbedaan yang, jika dipahami, bisa menjadi kekuatan luar biasa. Disleksia bukanlah kelemahan, melainkan keunikan yang menunggu untuk dikenali.
Saya memegang erat sebuah pepatah: "Jika kalian menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan percaya bahwa dirinya bodoh seumur hidup." Selama bertahun-tahun, saya merasa seperti ikan itu, yang dipaksa mendaki pohon di dunia yang tidak dirancang untuk saya. Tetapi sekarang, saya tahu bahwa saya tidak bodoh. Saya hanya membutuhkan air tempat saya bisa berenang bebas.
Di balik tantangan membaca, disleksia juga memberikan kekuatan yang luar biasa. Kemampuan berpikir kreatif, imajinasi yang tajam, dan cara pandang unik adalah hadiah-hadiah yang diberikan kehidupan kepada kami. Tantangan ini tidak membuat kami lemah, tetapi mendorong kami untuk menemukan jalan yang berbeda, yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain.
Saat tahun ini berakhir, saya ingin mengajak semua orang untuk melihat perbedaan sebagai kekuatan. Mari kita bangun sistem yang inklusif, yang memberi ruang bagi anak-anak dengan keunikan mereka masing-masing. Jangan lagi ada anak yang merasa seperti saya dulu tertawa bersama orang lain, tetapi menangis dalam hati. Bersama-sama, kita bisa menciptakan dunia di mana semua anak merasa dihargai, diterima, dan mampu meraih potensi terbaik merekaBersama-sama, kita bisa menciptakan dunia di mana semua anak merasa dihargai, diterima, dan mampu meraih potensi terbaik mereka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H