Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengurai Makna di Balik Disleksia dan Diskalkulia

13 Desember 2024   12:37 Diperbarui: 11 Desember 2024   19:38 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi : chatgpt.com

"Mengurai Makna di Balik Disleksia dan Diskalkulia"

Ketika kita membayangkan seorang anak yang kesulitan membaca atau memahami angka, sering kali bayangan itu disertai oleh asumsi yang salah. Kita mungkin berpikir bahwa anak tersebut malas, tidak cukup berusaha, atau bahkan kurang cerdas. Padahal, apa yang terjadi jauh lebih kompleks daripada sekadar label atau stigma. Disleksia dan diskalkulia adalah kondisi yang memengaruhi cara otak memproses informasi terkait bahasa dan angka. Kedua kondisi ini hadir dengan tantangan unik, namun juga membawa potensi luar biasa jika dipahami dan diberdayakan.

Penelitian terbaru dari Dr. Gesa Schaadt, seorang ahli di Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences, menunjukkan bahwa disleksia dan diskalkulia memiliki akar yang sangat mendalam, bahkan bisa dilacak sejak masa bayi. Anak-anak dengan disleksia, misalnya, sering menghadapi kesulitan dalam menghubungkan penglihatan dan ucapan, serta dalam memahami nuansa kecil dalam persepsi bicara. Sementara itu, anak-anak dengan diskalkulia sering kali menghadapi tantangan dalam memahami pola angka atau simbol numerik sejak dini.

Hal yang menarik adalah bahwa setiap anak dengan disleksia atau diskalkulia memiliki "sidik jari kognitif" yang unik. Ini berarti, meskipun ada karakteristik umum, masing-masing anak memiliki kombinasi risiko dan potensi yang berbeda. Namun, satu kesamaan mencolok adalah dampaknya yang universal baik pada sistem alfabetis seperti Bahasa Inggris maupun pada logogram seperti Bahasa Mandarin.

Sebagai seorang guru sekaligus penyintas disleksia dan ADHD, saya merasakan langsung betapa sulitnya menjalani masa kecil dengan tantangan ini. Huruf-huruf di halaman buku seperti "menari," mengolok-olok setiap upaya saya untuk memahami teks. Angka-angka menjadi musuh yang sulit dijinakkan, membuat matematika terasa seperti medan perang tanpa akhir. Namun, di tengah semua itu, ada seorang figur penting: Ayah saya. Ia tidak menyerah, meskipun saya hampir menyerah. Dengan sabar, ia membantu saya menemukan cara lain untuk belajar, sebuah jalan yang sesuai dengan cara kerja otak saya.

Hari ini, saya berdiri sebagai seorang pendidik yang berjuang untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Saya melihat wajah-wajah kecil yang penuh harapan, meskipun dunia sering kali memberi mereka tembok, bukan jembatan. Saya menyadari bahwa tantangan mereka bukanlah kelemahan, tetapi peluang untuk menemukan kekuatan baru.

Sebagai masyarakat, kita harus menyadari bahwa disleksia dan diskalkulia bukan hanya tantangan akademis. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan kondisi ini rentan terhadap masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Hal ini terjadi karena dunia kita yang serba digital sering kali tidak ramah bagi mereka yang berjuang dengan huruf dan angka. Bayangkan rasa malu seorang anak saat mengunggah teks penuh kesalahan ejaan di media sosial, atau frustrasi karena tidak bisa menyelesaikan soal matematika sederhana di toko online.

Dukungan individu yang adaptif dan sensitif terhadap kebutuhan masing-masing anak menjadi kunci. Pendekatan ini tidak hanya membantu mereka mengatasi kesulitan tetapi juga memungkinkan mereka mengembangkan potensi terbaiknya.

Untuk setiap anak yang merasa dunia ini terlalu sulit untuk dimengerti, ada harapan yang harus kita nyalakan. Karena setiap huruf yang "menari" di mata mereka, setiap angka yang terlihat "menghilang," hanyalah bagian dari perjalanan mereka untuk menemukan cara memahami dunia dengan cara mereka sendiri.

"Jangan pernah menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon. Setiap anak adalah dunia yang unik, penuh keajaiban yang menunggu untuk ditemukan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun