"Antara Huruf yang Berlari dan Kata yang Tak Tersentuh: Memahami Disleksia dan Hiperleksia"
Ketika berbicara tentang kemampuan membaca, sering kali kita hanya melihat satu sisi mereka yang sulit membaca dan mereka yang membaca terlalu cepat. Namun, di balik itu, ada dunia yang kompleks dan penuh warna: disleksia dan hiperleksia, dua kondisi yang tampak seperti dua kutub berlawanan, namun sama-sama menghadirkan tantangan unik dalam memahami bahasa dan dunia.
Disleksia adalah kondisi belajar yang membuat seseorang kesulitan membaca, meskipun memiliki kecerdasan yang normal. Huruf-huruf seperti menari di atas kertas, membuat kata-kata sulit dipahami. Berdasarkan penelitian Shaywitz (2020), disleksia disebabkan oleh perbedaan dalam struktur dan aktivitas otak, khususnya di area yang memproses bahasa.
Namun, disleksia bukan hanya tentang kesulitan membaca. Bagi saya, disleksia adalah perjalanan penuh emosi dari rasa malu ketika diejek teman karena tidak bisa membaca dengan lancar, hingga frustrasi saat guru hanya melihat nilai rendah saya tanpa memahami perjuangan di baliknya.
Di balik kekurangan itu, saya menemukan kekuatan. Orang dengan disleksia cenderung berpikir secara kreatif dan mampu melihat gambaran besar. Seperti yang dijelaskan oleh Eide & Eide (2011), kemampuan visual-spasial sering kali lebih menonjol pada disleksia, menjadikan mereka problem solver yang andal. Saya pribadi merasa kemampuan ini membantu saya menjadi guru yang lebih inovatif, mampu memahami dan mendukung anak-anak dengan cara yang berbeda.
Sebaliknya, hiperleksia adalah kemampuan membaca yang berkembang lebih cepat daripada anak seusianya, namun sering disertai kesulitan memahami bahasa verbal dan berinteraksi sosial. Anak-anak dengan hiperleksia sering kali mampu membaca buku sebelum usia prasekolah, tetapi menghadapi hambatan besar dalam memahami isi bacaan atau berkomunikasi.
Menurut penelitian terbaru oleh Ozonoff et al. (2023), hiperleksia sering ditemukan pada anak-anak dengan spektrum autisme, meskipun tidak selalu demikian. Salah satu tantangan terbesar mereka adalah menjembatani keterampilan membaca dengan pemahaman bahasa dan interaksi sosial.
Ketika bertemu anak dengan hiperleksia di proyek Dyslexia Keliling Nusantara, saya terkejut melihat kemampuan membacanya yang luar biasa. Namun, saat dia tidak mampu memahami arti dari kalimat yang dibacanya, saya diingatkan bahwa membaca lebih dari sekadar mengenali huruf. Itu adalah tentang memahami, merasakan, dan berkomunikasi.
Disleksia dan hiperleksia mengajarkan kita bahwa setiap individu memiliki cara unik untuk memahami dunia. Orang dengan disleksia mungkin kesulitan dengan huruf, tetapi bisa berbicara dengan penuh makna. Sementara itu, orang dengan hiperleksia mungkin membaca dengan cepat, tetapi memerlukan bantuan untuk memahami isi bacaan dan dunia sosial di sekitarnya.
Sebagai seorang yang hidup dengan disleksia, saya merasa perjalanan ini seperti mendaki gunung dengan beban berat, tetapi pemandangan di puncaknya sangatlah indah. Kelebihan yang saya miliki kemampuan berpikir kreatif dan empati yang mendalam terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah hadiah yang tidak ternilai.