Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghadapi Mitos "'Kemalasan" ADHD

9 Desember 2024   13:01 Diperbarui: 9 Desember 2024   18:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi : chatgpt.com

Menghadapi Mitos "Kemalasan" ADHD : Mengatasi Tantangan dan Bekerja Lebih Cerdas, Bukan Lebih Keras

Sejak kecil, saya sering disebut malas. Bahkan, saya pun mulai mempercayainya. Apa lagi yang bisa menjelaskan kegagalan saya untuk bekerja "cukup keras" untuk mencapai tujuan?

Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa masalah saya bukanlah karena ketidakinginan untuk bekerja keras. Sebaliknya, saya sering kali merasa kesulitan untuk bekerja dengan sekeras yang saya inginkan. Saya tidak malas; saya hanya bekerja dengan cara yang berbeda, dan itulah yang perlu dipahami oleh orang-orang di sekitar saya.

Dalam esai yang viral berjudul Laziness Does Not Exist, Dr. Devon Price, seorang pendidik dan psikolog sosial, menantang pemahaman umum tentang kemalasan. Pendapatnya? "Orang tidak malas; kebutuhan mereka hanya tidak terpenuhi." Ini adalah konsep yang mendalam, yang mengingatkan kita bahwa untuk mencapai kesuksesan, kita harus memenuhi kebutuhan dasar, seperti yang diajarkan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya.

Jika seseorang tidak melakukan sesuatu, itu bukan karena mereka tidak mau, tetapi ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk melakukannya. Hambatan-hambatan ini mungkin tidak terlihat, tetapi dapat mencakup masalah kesehatan mental, stres, masalah gaya hidup, dan bahkan neurodivergensi seperti ADHD atau disleksia, yang dapat membuat kita kesulitan untuk berfungsi sebagaimana mestinya.

Saya baru menyadari dampak besar dari ADHD dan disleksia setelah saya didiagnosis ulang pada usia 9 tahun. Ternyata, kondisi ini mempengaruhi cara saya bekerja, berinteraksi, dan bahkan bagaimana saya menghadapi dunia setiap hari. Banyak hal yang saya coba capai, tetapi sering kali saya merasa terhambat oleh perasaan cemas atau kehilangan fokus yang tak bisa saya kontrol.

Namun, seiring bertambahnya usia, saya mulai belajar untuk bekerja dengan cara yang lebih cerdas, bukan lebih keras. Saya menemukan cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, menggali potensi saya, dan memanfaatkan kekuatan yang ada dalam diri saya. Ada sebelas cara utama yang telah membantu saya untuk bangkit dan mengatasi mitos tentang "kemalasan" yang selama ini melekat pada saya.

1. Menyadari Kebutuhan Saya yang Tidak Tersalurkan
Langkah pertama adalah mengakui bahwa saya tidak malas; saya hanya belum menemukan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan saya. Ketika saya memahami kebutuhan ini, saya bisa mengatasi hambatan yang menghalangi saya.

2. Memecah Tugas Menjadi Bagian Kecil
Tugas besar sering kali terasa menakutkan bagi seseorang dengan ADHD. Oleh karena itu, saya membaginya menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dihadapi. Hal ini membuat saya merasa lebih terkendali dan mampu menyelesaikan lebih banyak pekerjaan.

3. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Mendukung
Lingkungan yang bebas dari gangguan sangat penting. Saya memastikan ruang kerja saya terorganisir dengan baik, tanpa distraksi yang bisa membuat saya kehilangan fokus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun