Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membantu Anak dengan Perbedaan Belajar dan Neurodiversitas

8 Desember 2024   08:00 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:41 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merawat Alam dalam Diri Mereka: Membantu Anak dengan Perbedaan Belajar dan Neurodiversitas

Setiap anak lahir dengan keunikan yang tidak dapat disangkal seperti taman yang penuh dengan benih berbeda, siap tumbuh menjadi pohon-pohon megah dengan karakter mereka sendiri. Dalam perjalanan hidup mereka, anak-anak dengan perbedaan belajar seperti disleksia, ADHD, autisme, atau dua kali istimewa (twice exceptional) membawa tantangan sekaligus kekuatan yang luar biasa. Saya adalah salah satu dari mereka. Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya tahu rasanya hidup di taman yang sering dilihat orang lain sebagai 'tidak sempurna.' Tetapi saya belajar bahwa keunikan ini bukanlah kesalahan, melainkan bukti keindahan keragaman manusia.

Namun, sering kali taman ini diterpa badai. Ketika kecil, saya menghadapi ejekan, label, dan kesalahpahaman. Saya melihat bagaimana kemarahan orang dewasa terhadap ketidakmampuan saya membaca menggantikan potensi yang sebenarnya ada dalam diri saya. Rasa malu menghimpit, membuat saya merasa tidak layak. Saya bahkan mulai meragukan diri sendiri. Tetapi saat itu, ayah saya hadir sebagai cahaya. Dengan sabar, ia membantu saya memahami huruf-huruf yang menari di atas kertas dan mendukung saya melewati badai itu. Pengalaman inilah yang mengajarkan saya bahwa taman ini hanya butuh perhatian, cinta, dan empati untuk tumbuh.

Epigenetika mengajarkan bahwa lingkungan dan pengalaman dapat membentuk kita, layaknya air yang mengaliri akar. Pilihan kita sebagai orang dewasa sangat memengaruhi bagaimana anak-anak ini bertumbuh apakah kita menyirami mereka dengan kekuatan, empati, dan cinta, atau justru menenggelamkan mereka dalam kritik dan rasa bersalah. Sebagai guru dan seseorang yang dulu pernah berjuang, saya memilih untuk mengganti kemarahan dengan kekuatan yang mendorong mereka maju, mengganti rasa malu dengan empati yang menguatkan, dan mengganti luka dengan cinta yang membangun kepercayaan pada diri mereka.

Ketika kita mulai memandang mereka dengan hati dan pikiran yang terbuka, kita menciptakan anak-anak yang percaya diri dan hubungan yang penuh makna. Mereka belajar mencintai diri mereka sendiri, menerima perbedaan mereka, dan melihatnya sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Pada akhirnya, taman ini akan tumbuh, tidak seragam tetapi penuh warna. Setiap pohon akan berdiri tegak, membuktikan bahwa setiap individu, apa pun tantangannya, layak diterima apa adanya.

"Anak-anak tidak butuh sempurna, mereka butuh cinta yang menerima mereka apa adanya. Sebab, hanya dengan cinta mereka dapat mencintai dirinya sendiri dan dunia sekitarnya." -- Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun