"Hari Disabilitas Internasional: Menyatukan Suara, Menguatkan Kepemimpinan, Menghargai Semua Perbedaan"
Setiap tanggal 3 Desember, dunia menyatukan suara untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional. Tahun ini, tema yang diusung, "Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan", menjadi seruan penting bagi kita semua untuk tidak hanya memahami, tetapi juga bertindak demi mewujudkan dunia yang benar-benar inklusif bagi semua individu, tanpa terkecuali.
Namun, mari kita bertanya dengan jujur: apakah inklusi ini telah sepenuhnya tercapai? Apakah semua jenis disabilitas mendapatkan perhatian yang sama?
Di banyak sudut dunia, perayaan Hari Disabilitas Internasional sering kali menampilkan cerita sukses dari teman-teman dengan tunanetra, tunarungu, atau tunadaksa mereka yang kondisi fisiknya terlihat oleh mata.Â
Sementara itu, anak-anak dengan disabilitas yang tidak terlihat, seperti disleksia, ADHD, giftedness, atau gangguan spektrum autisme, masih sering berada di pinggiran diskusi. Mereka menghadapi stigma, bukan hanya karena kondisi mereka sulit dipahami, tetapi juga karena minimnya pengetahuan masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan.
Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya merasakan langsung bagaimana sulitnya dunia memahami perjuangan kami yang tidak terlihat. Masa kecil saya penuh dengan cobaan; huruf-huruf yang 'menari' di halaman buku, konsentrasi yang selalu berpindah-pindah, dan label "anak malas" yang terus melekat. Saya masih ingat bagaimana rasa frustasi itu membuat saya merasa terasing di sekolah tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan tumbuh.
Saat ini, melalui proyek Dyslexia Keliling Nusantara, saya bertemu banyak anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Mereka punya potensi luar biasa, tetapi sering kali terperangkap dalam sistem yang gagal memahami kebutuhan unik mereka.Â
Misalnya, anak-anak dengan disleksia yang sulit membaca dianggap kurang pintar. Padahal, penelitian oleh Shaywitz (2003) menyebutkan bahwa disleksia tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan. Anak-anak ini sebenarnya mampu berpikir kreatif dan menyelesaikan masalah dengan cara yang unik, asalkan mereka diberikan dukungan yang tepat.
Sayangnya, pemahaman ini belum menjadi arus utama. Banyak guru yang masih memaksakan metode pengajaran satu ukuran untuk semua. Lebih menyakitkan lagi, saya sering melihat bagaimana orang tua berjuang sendirian karena tidak ada sistem pendukung yang memadai.
Di tengah perjalanan saya, satu hal yang selalu menguatkan adalah melihat anak-anak ini mulai percaya diri ketika mereka merasa dipahami. Saya ingat seorang anak laki-laki dengan disleksia di pelosok Sumatra yang akhirnya berhasil membaca kata pertamanya setelah setahun berjuang.Â