Aku, Disleksia, dan Pilkada: Harapan Baru untuk Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
"Setiap suara itu berarti, seperti setiap anak adalah cahaya yang menunggu untuk bersinar, meski terkadang terhalang oleh ketidakmengertian."
Pilkada serentak yang sedang berlangsung di berbagai daerah bukan hanya tentang memilih pemimpin baru, tetapi juga tentang harapan dan masa depan masyarakat, termasuk mereka yang sering terabaikan: anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti disleksia dan ADHD.Â
Sebagai seseorang yang hidup dengan kedua kondisi ini, perjalanan saya penuh liku, dan pengalaman saya membawa Dyslexia Keliling Nusantara telah membuka mata saya akan tantangan yang dihadapi anak-anak ini di berbagai pelosok negeri.
Di banyak kabupaten yang saya kunjungi, stigma terhadap anak berkebutuhan khusus masih sangat kuat. Guru-guru, terutama di daerah terpencil, sering kali tidak memiliki pelatihan atau pemahaman yang memadai tentang bagaimana mendeteksi atau mendukung anak-anak ini.Â
Salah satu anak yang saya temui, sebut saja Rafi, seorang anak kelas 3 SD, dicap malas karena tidak bisa membaca dengan lancar. Guru-gurunya tidak menyadari bahwa Rafi memiliki disleksia, sehingga ia hanya menerima hukuman alih-alih bantuan.
Data dari penelitian Universitas Indonesia menunjukkan bahwa di Indonesia, prevalensi anak dengan disleksia diperkirakan mencapai 5-10% dari total populasi anak usia sekolah.Â
Namun, sistem pendidikan kita belum siap untuk menangani kebutuhan mereka. Sebuah penelitian oleh Dr. Sally Shaywitz dari Yale University menyebutkan bahwa dengan intervensi yang tepat, anak-anak disleksia dapat berkembang luar biasa. Tetapi tanpa itu, mereka berisiko kehilangan potensi besar yang ada dalam diri mereka.
Pilkada serentak ini menjadi peluang besar untuk membawa perubahan. Pemimpin daerah yang terpilih memiliki kekuatan untuk membentuk kebijakan yang lebih inklusif, terutama dalam sektor pendidikan. Bayangkan jika setiap kabupaten memiliki program pelatihan guru khusus untuk mendeteksi dan membantu anak-anak dengan disleksia, ADHD, atau kebutuhan khusus lainnya.
Sebagai orang yang pernah dianggap gagal di sekolah karena kesalahpahaman terhadap disleksia dan ADHD, saya tahu betapa pentingnya memiliki pemimpin yang peduli. Kita butuh kebijakan yang:
- Memperkuat pelatihan guru. Guru adalah garda terdepan dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus.
- Membentuk pusat sumber belajar inklusif. Setiap daerah harus memiliki pusat konsultasi dan pelatihan untuk membantu anak dan orang tua.
- Memberikan perhatian pada infrastruktur sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus sering kali kesulitan dengan fasilitas umum sekolah.