"Menyalakan Lentera di Hari Guru: Perjalanan Semangat Guru penyandang Disleksia dan ADHD"
Hari Guru Nasional bukan sekadar perayaan bagi saya. Ia adalah momen refleksi atas perjalanan panjang saya sebagai seorang guru anak berkebutuhan khusus (ABK) selama lebih dari 15 tahun.
Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, menjadi seorang guru adalah tantangan sekaligus hadiah yang membentuk hidup saya.
Saya ingin berbagi, bukan untuk menginspirasi semata, tetapi untuk menunjukkan bahwa setiap perjuangan adalah lentera bagi orang lain.
Ketika kecil, saya kerap dianggap "berbeda." Di sekolah, huruf-huruf di buku seolah menari, dan perhatian saya melayang seperti daun diterbangkan angin.
Diagnosa disleksia dan ADHD di usia 9 tahun mengubah cara saya melihat dunia bukan sebagai kelemahan, tetapi tantangan untuk dihadapi.
Ayah saya selalu berkata, "Imam, fokuslah pada apa yang kamu bisa, bukan pada apa yang dunia katakan kamu tidak bisa."
Kalimat itu menjadi kompas saya, terlebih saat memutuskan menjadi guru ABK.
Saya tahu betapa beratnya dunia bagi anak-anak yang merasa tidak dimengerti. Saya ingin menjadi sosok yang saya butuhkan saat kecil---guru yang tidak hanya mengajar, tetapi memahami.
Sejak 2017, proyek Dyslexia Keliling Nusantara telah membawa saya ke berbagai pelosok Indonesia, dari desa terpencil hingga kota-kota besar.
Saya menyaksikan banyak anak disleksia dan ABK lainnya berjuang seperti saya dulu mereka ingin didengar, dimengerti, dan diberikan kesempatan.
Proyek ini juga membuka mata saya akan fakta yang pahit: menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, kesadaran tentang gangguan belajar seperti disleksia masih sangat rendah.
Banyak guru yang belum memahami apa itu disleksia atau ADHD, bahkan menganggap anak-anak ini "malas" atau "tidak pintar."
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang tepat dapat membantu anak-anak ini berkembang optimal.
Sebuah studi dari Kemendikbud pada 2020 menegaskan bahwa pelatihan guru terkait kebutuhan khusus mendesak untuk diperluas.
Anak-anak dengan disleksia memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi, seperti dijelaskan dalam penelitian Shaywitz (2003), namun sering kali potensi ini terabaikan akibat sistem pendidikan yang terlalu fokus pada angka.
Sebagai guru, saya percaya pada teori Multiple Intelligences dari Howard Gardner yang menegaskan bahwa kecerdasan tidak hanya soal logika atau bahasa, tetapi juga kreativitas, interpersonal, dan lainnya.
Dalam pengalaman saya, seorang anak dengan disleksia yang kesulitan membaca sering kali memiliki keunggulan luar biasa dalam visual-spatial atau seni.
Dengan mendekati anak-anak berdasarkan kekuatan mereka, saya menyaksikan perubahan yang luar biasa: anak-anak yang sebelumnya kehilangan kepercayaan diri, perlahan kembali percaya bahwa mereka berharga.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Banyak guru dan orang tua yang masih enggan menerima bahwa anak mereka memiliki kebutuhan khusus.
Kadang, ada rasa lelah saat menghadapi sistem yang sering mengabaikan suara anak-anak ini.
Tapi ketika saya melihat seorang anak yang dulu hampir menyerah kini berani bermimpi, saya tahu perjuangan ini tidak sia-sia.
Hari Guru Nasional adalah pengingat bagi saya bahwa tugas seorang guru bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi menyalakan lentera dalam jiwa setiap anak.
Lentera itu mungkin kecil, mungkin redup, tetapi ketika kita menghidupkannya dengan cinta dan pemahaman, ia bisa menerangi jalan mereka untuk menemukan versi terbaik diri mereka.
Sebagai guru ABK, saya merasa terhormat bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka.
Dan sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya ingin berkata kepada setiap anak yang merasa "berbeda": Kamu istimewa. Jangan berhenti bermimpi. Dunia membutuhkan caramu yang unik untuk melihat dan memahami segalanya.
Hari ini, di Hari Guru Nasional, saya tidak meminta penghormatan. Yang saya harapkan adalah kesadaran kita bersama untuk lebih memahami, menerima, dan mendukung semua anak, tanpa terkecuali.
Mari, sebagai guru, orang tua, dan masyarakat, kita bersama-sama menyalakan lentera harapan untuk masa depan yang lebih inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H