Saya menyaksikan banyak anak disleksia dan ABK lainnya berjuang seperti saya dulu mereka ingin didengar, dimengerti, dan diberikan kesempatan.
Proyek ini juga membuka mata saya akan fakta yang pahit: menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, kesadaran tentang gangguan belajar seperti disleksia masih sangat rendah.
Banyak guru yang belum memahami apa itu disleksia atau ADHD, bahkan menganggap anak-anak ini "malas" atau "tidak pintar."
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang tepat dapat membantu anak-anak ini berkembang optimal.
Sebuah studi dari Kemendikbud pada 2020 menegaskan bahwa pelatihan guru terkait kebutuhan khusus mendesak untuk diperluas.
Anak-anak dengan disleksia memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi, seperti dijelaskan dalam penelitian Shaywitz (2003), namun sering kali potensi ini terabaikan akibat sistem pendidikan yang terlalu fokus pada angka.
Sebagai guru, saya percaya pada teori Multiple Intelligences dari Howard Gardner yang menegaskan bahwa kecerdasan tidak hanya soal logika atau bahasa, tetapi juga kreativitas, interpersonal, dan lainnya.
Dalam pengalaman saya, seorang anak dengan disleksia yang kesulitan membaca sering kali memiliki keunggulan luar biasa dalam visual-spatial atau seni.
Dengan mendekati anak-anak berdasarkan kekuatan mereka, saya menyaksikan perubahan yang luar biasa: anak-anak yang sebelumnya kehilangan kepercayaan diri, perlahan kembali percaya bahwa mereka berharga.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Banyak guru dan orang tua yang masih enggan menerima bahwa anak mereka memiliki kebutuhan khusus.