Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Balik Label "Low Support Needs": Menyingkap Perjuangan Disleksia

25 November 2024   13:38 Diperbarui: 25 November 2024   13:46 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di Balik Label 'Low Support Needs': Menyingkap Perjuangan Disleksia"

"Tidak ada perjuangan yang benar-benar kecil ketika setiap langkah adalah perjuangan memahami dunia dengan cara yang berbeda."
-- Imam Setiawan

Dalam dunia pendidikan dan masyarakat umum, istilah "low support needs" sering digunakan untuk menggambarkan individu dengan disleksia yang dianggap memiliki kebutuhan pendukung minimal. Label ini mungkin terlihat ringan, bahkan membanggakan, tetapi di baliknya tersimpan perjuangan tak terlihat dan kebutuhan yang sering kali diabaikan. Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, saya memahami dengan mendalam bagaimana label ini dapat menjadi penghalang untuk mendapatkan bantuan yang benar-benar diperlukan.

Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% populasi dunia memiliki disleksia, tetapi banyak yang masuk kategori "mild" atau "low support needs." Studi dari Shaywitz dan Shaywitz (2004) mengungkapkan bahwa meskipun individu ini mungkin mampu membaca atau menulis dengan baik secara permukaan, mereka tetap menghadapi kesulitan dalam memahami makna, memproses informasi, atau mengatur waktu. Label "low support needs" sering kali mengabaikan aspek emosional, kognitif, dan sosial yang menyertai disleksia.

Ketika saya bersekolah, guru-guru sering mengatakan, "Kamu sebenarnya pintar, hanya kurang usaha." Namun, mereka tidak melihat perjuangan internal saya setiap kali huruf-huruf "menari" di halaman buku. Mereka tidak menyadari rasa lelah yang muncul hanya karena harus fokus selama 30 menit pada tugas yang sederhana bagi teman-teman saya.

Menurut teori Double Deficit Hypothesis yang diajukan oleh Wolf dan Bowers (1999), disleksia tidak hanya terkait dengan kesulitan membaca, tetapi juga dengan lambatnya pemrosesan fonologis dan pengenalan kata. Individu yang dianggap "mild" dalam disleksia sering kali memiliki salah satu dari dua defisit tersebut, yang membuat mereka tampak mampu di permukaan tetapi sebenarnya berjuang lebih keras dibandingkan orang lain.

Hal ini diperkuat oleh penelitian Fletcher et al. (2007), yang menekankan bahwa kebutuhan pendukung untuk individu dengan disleksia tidak hanya harus didasarkan pada performa akademik, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang pengalaman emosional dan psikologis mereka. Rasa malu, frustasi, atau bahkan depresi sering kali menjadi konsekuensi yang tak terlihat dari label "low support needs."

Sebagai seseorang dengan ADHD di samping disleksia, perjuangan saya tidak hanya soal membaca atau menulis. ADHD membuat otak saya "sibuk sekali," melompat dari satu ide ke ide lain, sulit untuk fokus, dan mudah lelah secara mental. Label "low support needs" membuat orang sering mengira bahwa saya "hanya sedikit berbeda." Kenyataannya, perjuangan saya lebih seperti gunung es hanya sebagian kecil yang terlihat.

Misalnya, ketika saya mengerjakan tugas sekolah, saya membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk menyelesaikannya dibandingkan teman-teman saya. Namun, karena hasil akhir saya "cukup baik," guru dan teman-teman tidak menyadari usaha besar yang saya lakukan di balik layar. Di sinilah label "low support needs" menjadi jebakan: kebutuhan saya tidak dianggap penting hanya karena saya mampu menampilkan performa yang terlihat normal.

Sistem pendidikan kita sering kali mengutamakan hasil dibandingkan proses. Anak-anak dengan "low support needs" sering kali dibiarkan berjuang sendiri karena dianggap "sudah cukup baik." Namun, apa yang terjadi pada mental mereka? Bagaimana mereka merasa didukung? Penelitian dari Snowling et al. (2011) menunjukkan bahwa individu dengan disleksia ringan memiliki risiko tinggi mengalami kecemasan dan kurang percaya diri karena kurangnya dukungan yang memadai.

Ketika saya menjalankan program Dyslexia Keliling Nusantara, saya bertemu banyak anak dengan cerita yang sama. Mereka dianggap baik-baik saja oleh guru mereka, tetapi ketika saya berbicara langsung dengan mereka, saya melihat luka emosional yang dalam. "Kenapa aku tidak seperti mereka, Kak?" tanya seorang anak. Pertanyaan ini mengingatkan saya pada diri saya dulu, yang sering merasa terisolasi karena perbedaan yang tidak terlihat.

Penting bagi kita untuk mengubah cara pandang terhadap label seperti "low support needs." Dukungan bukan hanya tentang memfasilitasi kemampuan akademik, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa dihargai, dipahami, dan diterima. Para ahli seperti Reid Lyon (2002) menekankan bahwa intervensi yang efektif untuk individu dengan disleksia harus mencakup aspek akademik, emosional, dan sosial.

Bagi saya, dukungan terbesar datang dari ayah saya, yang dengan sabar mengajari saya membaca walaupun saya sering frustrasi. Dukungan emosional seperti ini tidak tergantikan oleh apapun. Sekarang, sebagai pendidik, saya berusaha memberikan hal yang sama kepada anak-anak dengan disleksia. Mereka tidak hanya membutuhkan strategi belajar, tetapi juga dukungan penuh kasih yang menguatkan mental mereka.

Label "low support needs" tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan perjuangan tak terlihat. Kita harus berhenti melihat disleksia sebagai tantangan yang hanya terkait dengan kemampuan membaca atau menulis. Disleksia adalah tentang bagaimana individu memproses dunia secara berbeda---dan dalam perbedaan itu ada kekuatan yang luar biasa.

 "Ketika kita melihat lebih dalam dari sekadar label, kita tidak hanya menemukan perjuangan, tetapi juga potensi yang luar biasa."

-- Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun