Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dunia Tak Terlihat, Perjuangan Anak Berkebutuhan Khusus di Dunia Kerja

12 November 2024   10:42 Diperbarui: 12 November 2024   11:35 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia yang Tak Terlihat: Perjuangan Anak Berkebutuhan Khusus di Dunia Kerja

Ketika bicara soal anak berkebutuhan khusus (ABK), banyak yang hanya terpaku pada perjuangan mereka dalam pendidikan dasar atau menengah. Namun, tantangan bagi ABK tidak berhenti setelah mereka meninggalkan bangku sekolah. Dunia kerja, dengan segala kompleksitas dan ekspektasi yang tinggi, bisa menjadi medan yang penuh rintangan. 

Masyarakat seringkali lupa bahwa anak-anak ini, yang di masa kecilnya harus berjuang mengatasi berbagai keterbatasan, juga memiliki hak dan keinginan untuk hidup mandiri dan berkontribusi di dunia profesional. Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, perjalanan ini adalah sesuatu yang saya alami sendiri dan ingin bagikan kepada dunia, sekaligus menyingkap kenyataan bahwa inklusi di dunia kerja masih menjadi perjuangan panjang bagi kita semua.

Ketika pertama kali memasuki dunia kerja, perasaan gugup dan takut adalah hal yang sangat familiar bagi saya. Bukan hanya soal pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih pada pertanyaan: "Apakah saya akan diterima apa adanya?" Saya ingat betul bagaimana sejak kecil, disleksia sering membuat saya merasa "berbeda" dan kadang "kurang".

 Sementara, ADHD membuat saya terlihat seperti "pengacau", sulit duduk diam, susah fokus, dan cenderung hiperaktif. Kebiasaan ini masih terbawa hingga dewasa, dan tanpa dukungan serta pengertian yang cukup, dunia kerja bisa terasa seperti tempat yang penuh dengan stigma dan ketidakpahaman.

Sayangnya, stigma ini sering kali berasal dari miskonsepsi tentang apa itu disleksia, ADHD, dan berbagai bentuk kebutuhan khusus lainnya. Saya sering mendengar komentar seperti, "Kenapa kamu tidak bisa lebih teliti?" atau "Coba lebih fokus, ini soal keseriusan." Meskipun orang-orang tidak bermaksud jahat, ketidakpahaman ini menciptakan lingkungan yang jauh dari inklusif. 

Padahal, menurut penelitian dari American Psychological Association, inklusi yang mendalam di dunia kerja bagi karyawan dengan kebutuhan khusus meningkatkan produktivitas serta menciptakan tempat kerja yang lebih inovatif dan kolaboratif (APA, 2018).

Sejalan dengan pengalaman pribadi saya, penelitian menunjukkan bahwa kesulitan terbesar bagi ABK di dunia kerja adalah ekspektasi yang tidak selaras dengan realitas mereka. Beberapa perusahaan mungkin mulai membuka peluang bagi karyawan dengan kebutuhan khusus, tetapi tantangannya tidak sekadar soal membuka pintu---melainkan memberikan akses ke lingkungan kerja yang memahami dan mendukung perbedaan.

Menurut World Economic Forum (2021), lingkungan kerja yang inklusif seharusnya memberikan fleksibilitas dalam bekerja, terutama bagi karyawan dengan kebutuhan khusus yang mungkin memerlukan adaptasi khusus dalam menjalankan tugas. 

Namun, dalam praktiknya, banyak tempat kerja masih menganut satu standar yang sama untuk semua, tanpa mempertimbangkan kondisi karyawan. Hal ini membuat karyawan dengan kebutuhan khusus rentan mengalami kelelahan mental atau bahkan diskriminasi terselubung yang merusak kepercayaan diri mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun