"Di Antara Silang Sengketa Pendidikan: Saat Semua Menyalahkan, Aku dan Anak Berkebutuhan Khusus Menanti Kepastian Hak"
Setiap kali menteri baru dilantik, perubahan demi perubahan mencuat, seolah membawa angin segar bagi masa depan pendidikan di negeri ini. Tema demi tema diangkat; dari Ujian Nasional yang digugat habis-habisan, kurikulum yang bolak-balik direvisi, hingga berbagai kebijakan yang katanya dirancang untuk kebaikan semua siswa. Tapi, saat semua menyalahkan Ujian Nasional, menyalahkan kurikulum, menyalahkan pemerintahan, Saya bertanya-tanya, bagaimana nasib kami, Saya dan anak-anak berkebutuhan khusus yang juga menjadi bagian dari sistem ini?
Di tengah hiruk-pikuk itu, Saya melihat anak-anak berkebutuhan khusus terabaikan, tersisih dari perhatian kebijakan. Kami menjadi saksi bisu; sementara semua berbicara tentang "perbaikan" pendidikan, kami menunggu, berharap, hanya untuk kecewa lagi dan lagi. Saya teringat proyek Dyslexia Keliling Nusantara yang telah membawaku bertemu dengan anak-anak disleksia dari berbagai pelosok. Mereka anak-anak yang tak kalah berhak untuk mendapatkan pendidikan, namun sering kali dipinggirkan, dianggap "terlalu sulit" atau "kurang penting" untuk mendapat perhatian dari sistem pendidikan kita.
Saya sendiri telah hidup dalam bayang-bayang sistem yang tidak ramah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sebagai seorang penyandang disleksia, Saya tahu betul rasanya berjuang sendirian di sekolah, mencoba memahami kata-kata yang seolah menari di halaman, hanya untuk berakhir dengan stempel "malas" atau "bodoh" dari guru-guru yang tidak mengerti apa itu disleksia. Saat ini, Saya sudah melewati semua itu dan kini menjadi seorang pendidik bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Namun, pengalaman pahit masa kecilku terus membekas dan membuatku tak ingin ada anak lain yang mengalami hal serupa.
Dalam perjalananku, Saya banyak bertemu orang tua yang merasakan hal serupa. Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh para ahli, hanya 30% guru di sekolah inklusi yang memiliki pemahaman dasar mengenai kebutuhan anak dengan disabilitas atau kesulitan belajar khusus. Tak heran, anak-anak berkebutuhan khusus seperti disleksia, ADHD, autisme, dan lain-lain sering kali merasa teralienasi di dalam kelas. Mereka hadir, tapi tak dianggap. Mereka datang, tapi tak diajar. Saat semua sibuk menyalahkan sistem, mereka hanya bisa terdiam, menunggu dalam kesendirian.
Lalu, di mana letak keadilan bagi anak-anak ini? Ketika pemerintah memutuskan perubahan kurikulum dengan harapan meningkatkan kualitas pendidikan, apakah kebutuhan kami dipertimbangkan? Atau, apakah mereka hanya berfokus pada apa yang terlihat di permukaan---angka-angka, nilai-nilai, dan statistik yang dapat mengesankan publik?
Dalam Projek Dyslexia Keliling Nusantara, Saya melihat betapa beragamnya potensi yang dimiliki anak-anak ini. Mereka cerdas, penuh kreativitas, dan memiliki semangat yang tinggi. Namun, mereka membutuhkan pendekatan yang berbeda, dukungan yang lebih intensif, dan pengajaran yang berempati. Tetapi kenyataan berkata lain. Kerap kali Saya bertemu dengan guru yang bingung, kurang terlatih, atau bahkan menganggap anak-anak berkebutuhan khusus ini sebagai beban. Apa yang harus mereka lakukan ketika sistem pendidikan hanya memberikan pelatihan ala kadarnya, sementara mereka dihadapkan pada tantangan yang nyata di kelas setiap hari?
Saya ingin mengajukan satu pertanyaan mendasar kepada para pembuat kebijakan dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia: Apakah anak-anak berkebutuhan khusus bukan warga negara yang juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak? Apakah pendidikan inklusi hanya sebatas kata-kata manis dalam peraturan, tanpa implementasi yang nyata di lapangan?
Ketika Saya memandang anak-anak yang kuajarkan, ketika Saya mendengar kisah-kisah mereka, hatiku remuk. Saya tahu betul perjuangan mereka, perjuangan untuk sekadar diakuii. Di tengah perubahan sistem yang tidak pernah memihak pada kami, mereka tetap belajar, tetap berusaha, bahkan dalam kesunyian dan ketidakpedulian. Mereka memiliki hak yang sama untuk bermimpi, untuk mengembangkan bakat, untuk tumbuh menjadi versi terbaik dari diri mereka. Namun, mereka terus menerus diabaikan oleh sistem yang sibuk berdebat tanpa solusi.
Para ahli dan akademisi telah berkali-kali menyatakan bahwa pendekatan inklusif bukan hanya sekadar membuka pintu sekolah bagi anak berkebutuhan khusus. Inklusi berarti menyiapkan dukungan yang tepat, mengajar dengan metode yang sesuai, dan memberi anak-anak ini kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang cerah. Tetapi sejauh ini, hal itu tetap menjadi mimpi yang belum terwujud.