Pendidikan Bapak Abdul Mu'ti
Surat Terbuka untuk MenteriYth. Bapak Abdul Mu'ti,
Menteri Pendidikan yang Baru,
Perkenankan saya memperkenalkan diri, nama saya Imam Setiawan. Saya adalah seorang guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sekaligus penyandang disleksia dan ADHD yang terdiagnosa tegak saat berusia 9 Tahun. Hari ini senin tanggal 21 Oktober 2024 adalah hari pertama Bapak bertugas, Saya menulis surat ini dengan hati yang penuh harapan, namun juga dengan keresahan mendalam terkait kondisi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia.
Sebagai seorang yang menjalani kehidupan dengan disleksia dan ADHD, saya sangat memahami bagaimana sistem pendidikan kita masih sangat jauh dari kata ramah bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Hingga saat ini, banyak sekali anak-anak yang terpaksa terpinggirkan karena kurangnya pemahaman dan dukungan dari tenaga pengajar, termasuk mereka yang telah menyandang gelar guru penggerak ataupun lulusan Program Profesi Guru (PPG). Sayangnya, banyak dari mereka yang belum benar-benar mengenali apa itu anak berkebutuhan khusus, apalagi memahami cara terbaik untuk mendidik mereka.
Saya sering kali menemui bahwa sekolah-sekolah inklusi di berbagai daerah masih sekadar nama. Mereka mendeklarasikan diri sebagai sekolah inklusi hanya karena tuntutan aturan pemerintah, tetapi sayangnya, dukungan nyata dan penanganan yang tepat bagi anak-anak berkebutuhan khusus seringkali tidak ada. Guru-guru merasa kesulitan, tidak tahu harus melakukan apa, bahkan ada yang menganggap bahwa anak-anak ini tidak bisa belajar, sebuah pandangan yang sangat menyedihkan dan tidak berdasar.
Melalui proyek Dyslexia Keliling Nusantara yang saya gagas sejak tahun 2017, saya telah berkeliling ke berbagai pelosok Indonesia untuk mendukung anak-anak dengan disleksia dan kebutuhan khusus lainnya. Saya bertemu banyak guru, orang tua, dan anak-anak. Namun, yang saya temukan seringkali sangat mengecewakan: minimnya pemahaman, kurangnya pelatihan yang memadai bagi guru, dan tidak adanya dukungan struktural yang memadai dari pemerintah. Banyak guru bahkan tidak mampu mengenali ciri-ciri dasar dari disleksia, ADHD, autisme, atau kebutuhan khusus lainnya, sehingga anak-anak ini sering terabaikan, atau lebih buruk lagi, dianggap bodoh dan tidak pantas mendapatkan perhatian lebih.
Keresahan saya semakin mendalam ketika saya melihat hasil-hasil dari proyek ini. Saya menyaksikan betapa berat perjuangan anak-anak ini di tengah sistem yang belum siap untuk merangkul mereka sepenuhnya. Seringkali, hanya segelintir guru yang mau membuka diri untuk belajar lebih tentang cara mendukung anak-anak ini, sementara sebagian besar lainnya masih terjebak dalam paradigma lama bahwa semua anak harus sama.
Dengan segala hormat, Bapak Menteri, saya ingin menyampaikan beberapa permohonan dan harapan. Saya percaya bahwa pendidikan inklusif adalah hak setiap anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita melatih dan mempersiapkan para guru.
Pelatihan yang Lebih Mendalam dan Berkelanjutan: Program pelatihan guru penggerak dan PPG harus memasukkan pemahaman mendalam tentang anak berkebutuhan khusus sebagai bagian inti dari kurikulumnya. Guru-guru harus diberikan pelatihan yang memadai, bukan hanya sebatas teori, tetapi juga praktek nyata tentang bagaimana menghadapi dan mendidik anak-anak ini.
Dukungan untuk Sekolah Inklusi yang Nyata: Pemerintah harus memonitor sekolah-sekolah inklusi dan memastikan bahwa mereka benar-benar menjalankan prinsip-prinsip inklusi dengan menyediakan tenaga ahli, konselor, dan sumber daya yang mendukung perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus.
Sosialisasi yang Lebih Luas dan Komprehensif: Masih banyak mitos dan stigma terkait anak berkebutuhan khusus. Pendidikan kepada masyarakat, guru, dan orang tua sangatlah penting. Pemerintah perlu aktif terlibat dalam menghapus stigma ini dan mendorong kesadaran bahwa setiap anak, terlepas dari kekhususan mereka, memiliki potensi untuk sukses jika diberi dukungan yang tepat.