Dyslexia Speak-Up
Dosa Pendidikan: Di Balik Parade Simbolis Dyslexia Awareness Month
Oktober, bulan yang seharusnya menjadi tonggak penting untuk memperingati Dyslexia Awareness Month, kerap berakhir hanya sebagai formalitas. Di mana suara para guru? Di mana langkah nyata pemerintah? Disleksia dan kesulitan belajar spesifik lainnya masih dipandang sebelah mata. Seolah-olah masalah ini hanyalah bisikan yang berlalu tanpa jejak. Padahal, mereka yang memegang kunci perubahan guru dan pembuat kebijakan seharusnya menjadi garda terdepan dalam perjuangan ini.
Namun, dosa besar pendidikan kita adalah ketidakpedulian yang akut. Banyak guru yang telah melalui pendidikan tinggi, bahkan program-program bergengsi seperti Guru Penggerak atau Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Program Pengembangan lainnya, masih belum benar-benar paham apa itu disleksia. Lebih buruk lagi, label kuno seperti "pemalas" atau "bodoh" masih sering terdengar di kelas, padahal anak-anak ini hanya membutuhkan pendekatan yang berbeda. Ini bukan sekadar kebodohan individu, ini adalah dosa struktural, kebobrokan sistem yang sudah lama diabaikan.
Pendidikan kita seolah terjebak dalam fatamorgana pencapaian akademik, diukur hanya lewat angka-angka dan standar ujian yang tak pernah mempertimbangkan keragaman cara belajar setiap anak. Pemerintah dengan lantang meluncurkan program pendidikan inklusif, namun kenyataan di lapangan? Sekolah-sekolah yang bangga menyebut diri inklusi sering kali hanya inklusi di atas kertas. Anak-anak dengan disleksia dan kesulitan belajar lainnya masih diperlakukan seperti masalah yang harus 'dipecahkan', atau bahkan lebih tragis, diabaikan.
Lebih parahnya lagi, ada fenomena yang semakin membuktikan bahwa pendidikan kita semakin kehilangan integritas. Banyak guru yang merasa terpaksa memanipulasi nilai anak-anak berkebutuhan khusus agar terlihat seolah-olah mereka setara dengan teman-teman sekelasnya. Ironis, bukan? Kita mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kejujuran, tetapi sebagai guru, kita sendiri sudah tidak jujur pada profesi kita. Manipulasi nilai ini mungkin tampak seperti solusi mudah, tetapi sebenarnya, ini hanya menambah beban pada anak-anak tersebut dan menciptakan ilusi kemajuan.
Manipulasi ini tidak hanya terjadi pada anak disleksia, tapi juga pada mereka yang memiliki kebutuhan khusus lainnya. Ketika seorang guru memanipulasi nilai, mereka sebenarnya menolak tanggung jawab untuk mendampingi anak tersebut dengan pendekatan yang lebih tepat. Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin kita mengklaim membangun generasi yang jujur dan berintegritas, sementara sistem kita sendiri penuh dengan kebohongan?
Sebagai seseorang yang hidup dengan disleksia dan ADHD, saya merasakan betul bagaimana sistem pendidikan gagal memberikan dukungan yang memadai. Diagnosa saya ditegakkan pada usia 9 tahun, tetapi sebelum itu, saya sudah terlalu sering mendengar label-label yang menghancurkan. Saya dianggap tidak fokus, lamban, dan sering disalahpahami. Pendidikan yang seharusnya menjadi pintu pembuka peluang, justru menjadi tembok besar yang terus-menerus saya tabrak.
Sekarang, sebagai seorang guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus, saya menyadari bahwa suara saya selama ini mungkin hanyalah bisikan kecil di tengah gemuruh sistem pendidikan yang lebih peduli pada angka-angka daripada manusia. Meski begitu, saya tidak akan diam. Saya memulai Dyslexia Keliling Nusantara, sebuah proyek yang bertujuan untuk membuka mata para guru bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik hadir di setiap kelas mereka di mana pun sekolah itu berada. Jangan katakan bahwa sekolah Anda bukan sekolah inklusi, karena anak-anak ini ada di mana-mana, bahkan di sekolah yang tidak mengaku inklusi sekalipun.
Yang lebih mengecewakan, banyak sekolah yang menyebut diri inklusi, tetapi faktanya tidak memahami sepenuhnya apa itu disleksia dan kebutuhan anak-anak ini. Lebih menyedihkan lagi, stigma dan ketidakpedulian itu diperkuat oleh sistem yang tidak memberikan pelatihan dan dukungan yang cukup untuk para guru. Kesadaran bukan sekadar pengakuan bahwa disleksia itu ada. Kesadaran adalah memahami bahwa setiap anak memiliki potensi yang berbeda, dan potensi itu tidak bisa diukur hanya lewat ujian atau angka-angka. Kesadaran adalah tentang menghadirkan empati, inovasi, dan tindakan nyata di dalam kelas. Kita harus berhenti memanipulasi nilai dan mulai memanipulasi cara pandang kita tentang pendidikan.