Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Disleksia dan Pemahaman Socrates

2 Oktober 2024   11:01 Diperbarui: 2 Oktober 2024   14:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disleksia dan Pendekatan Socrates: Menemukan Pemahaman Melalui Dialog yang Reflektif

Disleksia adalah gangguan belajar yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, dan memproses bahasa. Bagi anak-anak yang mengalami disleksia, kata-kata dan huruf-huruf tampak kabur, terbalik, atau sulit dipahami. Proses belajar yang biasanya lancar bagi sebagian besar orang dapat menjadi penuh tantangan dan sering kali menghasilkan rasa frustrasi. Namun, jika kita melihat masalah ini dari perspektif yang lebih mendalam, seperti pendekatan filsafat Socrates, ada cara lain yang bisa diterapkan untuk memahami dan membantu individu dengan disleksia.

Filsuf Yunani kuno, Socrates, dikenal karena pendekatan dialogisnya yang mendalam untuk menggali kebenaran dan pemahaman. Metodenya, yang disebut Metode Maieutik atau dialektika, menekankan pentingnya bertanya sebagai alat untuk mendorong pemikiran kritis dan menemukan jawaban dari dalam diri. Pendekatan ini bisa menjadi model yang ideal untuk membantu anak-anak dengan disleksia, di mana dialog yang reflektif bisa membuka pintu bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana mereka belajar.

Untuk memahami bagaimana pendekatan Socrates bisa diterapkan pada pendidikan anak-anak disleksia, pertama-tama kita perlu memahami karakteristik otak disleksia. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan disleksia memiliki pola kerja otak yang berbeda dari individu yang tidak mengalami disleksia, terutama dalam hal memproses informasi visual dan linguistik. Cortex temporoparietal  yang bertanggung jawab untuk decoding kata sering kali kurang aktif pada individu disleksia, sementara area otak yang lain, seperti cortex frontalis, bisa lebih aktif, menunjukkan bahwa otak mereka mencoba mengkompensasi tantangan ini dengan memproses informasi secara berbeda.

Pendekatan tradisional yang berfokus pada hafalan, instruksi satu arah, dan latihan berulang tidak selalu efektif bagi mereka yang otaknya bekerja dengan cara yang berbeda. Di sinilah filosofi Socrates dapat memberikan pendekatan alternatif. Daripada menekankan pada hasil yang spesifik, pendekatan Socratic mengajak kita untuk memfokuskan diri pada proses berpikir. Dengan bertanya dan mengajak anak disleksia untuk mengeksplorasi cara mereka sendiri dalam memahami konsep, kita membantu mereka menemukan jalur kognitif yang lebih sesuai dengan pola pikir mereka yang unik.

Dalam metode maieutik, Socrates tidak memberikan jawaban langsung. Ia mengajukan serangkaian pertanyaan yang mendorong murid-muridnya untuk berpikir lebih dalam dan menemukan jawaban sendiri. Misalnya, daripada menjelaskan suatu konsep dengan cara biasa, ia mungkin akan bertanya, "Apa arti ini bagimu?" atau "Bagaimana cara kamu memahami ini?" Pertanyaan-pertanyaan ini memfasilitasi proses berpikir yang aktif dan personal, memungkinkan seseorang untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan perspektif mereka sendiri.

Untuk anak dengan disleksia, pendekatan ini sangat efektif. Misalnya, ketika mereka mengalami kesulitan membaca kata tertentu, alih-alih memaksakan mereka menghafal, pendidik bisa bertanya, "Apa yang kamu lihat ketika kamu membaca kata ini?" atau "Apa yang kamu pikirkan saat melihat huruf-huruf ini?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak hanya memvalidasi pengalaman mereka tetapi juga mendorong mereka untuk berpikir kritis dan reflektif tentang proses belajar mereka sendiri.

Anak dengan disleksia sering memiliki kepekaan sensorik yang lebih tinggi dalam merespon informasi. Mereka mungkin mengandalkan indra lain seperti visualisasi atau pemahaman spasial untuk memahami bahasa yang sulit. Hal ini sejalan dengan filosofi Socrates yang menekankan pentingnya refleksi sensorik dan intuitif dalam memahami dunia. Dialog Socratic memungkinkan anak disleksia untuk menggunakan pendekatan sensorik dan visualisasi yang lebih mendalam dalam belajar.

Sebagai contoh, ketika seorang anak disleksia kesulitan memahami huruf "b" dan "d", alih-alih memberi tahu mereka bahwa mereka salah, kita bisa mengajak mereka mengeksplorasi apa yang mereka lihat, bagaimana mereka mengingat bentuk-bentuk tersebut, dan strategi visual apa yang bisa membantu mereka membedakannya. Pendekatan ini, yang mengkombinasikan refleksi intuitif dengan pengetahuan, memberdayakan mereka untuk menemukan solusi yang sesuai dengan gaya belajar mereka.

Dialog Socratic bukan hanya tentang menemukan jawaban, tetapi juga tentang penguatan identitas diri. Anak dengan disleksia sering kali merasa tidak percaya diri atau terasing karena kesulitan mereka dalam memenuhi standar pembelajaran tradisional. Melalui dialog yang terbuka dan reflektif, mereka bisa merasa didengar dan dihargai, yang pada gilirannya membangun rasa percaya diri dan keberanian untuk terus belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun