Bayangkan sebuah dunia di mana setiap kata, setiap kalimat, setiap buku yang seharusnya menjadi jendela menuju pengetahuan justru berubah menjadi medan pertempuran tanpa akhir. Bagi sebagian besar orang, membaca adalah aktivitas sederhana, otomatis, dan tak memerlukan upaya ekstra.
Namun, bagi anak-anak disleksia, realitas ini jauh dari kata sederhana. Setiap kata adalah tantangan, setiap huruf tampak kabur, dan setiap kalimat bergetar seolah menolak untuk dipecahkan maknanya. Bagi mereka, sekolah tidak lebih dari neraka---sebuah tempat di mana setiap hari adalah pertempuran melawan kebingungan dan ketidakpahaman, sementara dunia di sekitar mereka terus berjalan, seolah mereka tak terlihat.
Ketika teman-teman mereka dengan mudah membaca paragraf demi paragraf, anak-anak disleksia tertinggal, terperangkap dalam kabut kecemasan dan rasa malu. Saya ingat betul bagaimana rasanya saat masih di sekolah. Setiap halaman buku pelajaran tampak seperti musuh yang harus saya kalahkan.
Setiap paragraf adalah labirin yang tak kunjung berujung, memaksa saya untuk membaca berulang kali demi sekadar menemukan makna yang terselip di antara huruf-huruf yang seakan menari-nari di halaman. Tak jarang, rasa frustrasi memuncak, apalagi ketika saya menyadari bahwa teman-teman saya sudah jauh melampaui saya. Mereka tertawa, memandang saya dengan tatapan penuh kebingungan atau ejekan, menyebut saya lambat, bodoh, atau kurang usaha.
Bukan hanya teman sebaya yang menjadi sumber tekanan. Para guru---sosok yang seharusnya menjadi pemandu dan pemberi dukungan sering kali tanpa sadar menambah beban yang saya pikul. Alih-alih memberikan bantuan, mereka justru kehilangan kesabaran. Saya dimarahi karena dianggap tidak berusaha cukup keras, dihukum karena dianggap tidak serius belajar.
Di mata mereka, kegagalan saya untuk membaca dengan lancar adalah cerminan ketidakmampuan atau kurangnya kemauan. Sayangnya, mereka tidak tahu bahwa setiap upaya yang saya lakukan adalah perjuangan besar yang tak terlihat. Setiap huruf yang saya coba pahami adalah pertempuran kecil yang tak henti-hentinya.
Sekolah, yang bagi banyak anak adalah tempat belajar dan bertumbuh, menjadi tempat yang menakutkan bagi saya. Setiap lonceng tanda masuk kelas menimbulkan kecemasan dalam diri saya apa lagi yang akan saya hadapi hari ini? Di mana lagi saya akan gagal? Setiap kali mendengar cerita anak-anak disleksia lain, saya merasa terhubung dengan cara yang sangat mendalam.
Ada perasaan yang sama, sebuah rasa takut yang tumbuh perlahan sekolah bukan lagi tempat pengetahuan, melainkan tempat di mana harga diri terkikis sedikit demi sedikit, hingga tak tersisa apa-apa selain rasa tak berharga. Saya bertanya-tanya, "Mengapa saya berbeda? Mengapa sekolah, yang seharusnya menjadi tempat bagi semua anak untuk berkembang, justru terasa seperti neraka bagi saya?"
Lebih menyakitkan lagi, sistem pendidikan kita, yang seharusnya inklusif, justru sering kali gagal mengakomodasi keunikan anak-anak disleksia. Sistem ini dibangun untuk mengakomodasi hanya segelintir gaya belajar gaya belajar yang kebanyakan disleksia tidak miliki. Setiap hari, anak-anak disleksia dipaksa untuk beroperasi dalam kerangka yang tidak sesuai dengan cara mereka memahami dunia.
Akibatnya, mereka terpinggirkan, dilabeli sebagai "masalah," atau bahkan "kegagalan." Ironisnya, banyak dari anak-anak ini memiliki potensi yang luar biasa---di luar dinding-dinding sekolah yang sempit. Mereka sering kali unggul dalam bidang yang membutuhkan kreativitas, inovasi, ketekunan, atau kemampuan berpikir out-of-the-box. Namun, potensi itu terabaikan, terkubur di bawah tekanan akademik yang tidak dirancang untuk mereka.
Saya sendiri merasakan luka dari masa sekolah itu bertahun-tahun setelahnya. Bahkan ketika saya sudah dewasa, rasa cemas itu masih ada. Setiap kali saya dihadapkan pada situasi yang mengharuskan saya membaca dengan cepat atau memahami instruksi yang kompleks, bayangan masa lalu kembali menghantui.
Saya kembali merasa seperti anak kecil yang terjebak dalam kekacauan kata-kata yang tak bisa saya pahami. Setiap tatapan guru yang kecewa, setiap ejekan teman, setiap kegagalan akademik masih menghantui saya, membuat saya mempertanyakan apakah saya cukup berharga.
Namun, di tengah-tengah kegelapan ini, anak-anak disleksia adalah pahlawan dalam cerita hidup mereka sendiri. Mereka tidak hanya bertahan mereka berjuang. Setiap hari mereka bangkit dengan semangat baru, meskipun dunia tampaknya menentang mereka. Mereka melawan setiap huruf yang menghalangi, melawan setiap sistem yang menekan.
Mereka adalah pejuang yang sesungguhnya, dan keberanian mereka jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh orang-orang yang tidak pernah mengalami disleksia. Mereka terus berjuang, meski kerap kali tak ada yang melihat perjuangan mereka.
Saatnya kita, sebagai masyarakat, berhenti sejenak dan melihat kenyataan ini. Anak-anak disleksia bukanlah kegagalan sistem; mereka adalah jiwa-jiwa yang kuat dan tangguh. Mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan bersinar sesuai dengan keunikan mereka. Sistem pendidikan kita seharusnya tidak menjadi neraka bagi mereka, melainkan rumah kedua tempat di mana mereka bisa merasa diterima, dihargai, dan didukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Mari kita ciptakan dunia di mana setiap anak, apapun gaya belajarnya, dapat merasakan bahwa sekolah adalah tempat yang aman, penuh cinta, dan penghargaan. Karena di dalam setiap anak disleksia, ada potensi yang luar biasa. Mereka hanya butuh satu hal: kesempatan. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka berbeda, mereka mampu melampaui segala harapan, dan bahkan melebihi standar yang ditetapkan oleh dunia yang sering kali tak memahami mereka.
Sekolah tidak seharusnya menjadi neraka. Mari kita ubah itu untuk setiap anak yang membutuhkan dunia yang lebih memahami.
Banyak anak disleksia masih jatuh dalam celah, dan menderita harga diri rendah, , kecemasan dan depresi dalam kehidupan dewasa mereka.