Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya dan Disleksia, Sebuah Perjalanan

25 September 2024   11:34 Diperbarui: 29 September 2024   18:48 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan menjadi anak yang selalu tersandung kata-kata, pikiran melayang-layang tanpa arah, sulit sekali menyusun huruf demi huruf, apalagi angka-angka. Kalian mungkin pernah melihatku berusaha keras, dan terlintas rasa kasihan di benak kalian. "Apakah dia sadar?" mungkin itu yang kalian tanyakan. Percayalah, aku sangat menyadari keterbatasanku. Tetapi, kalian hanya bisa menebak seberapa besar frustrasi yang kurasakan lebih dalam, lebih pekat dari apa yang bisa kalian bayangkan.

Di luar sana, banyak yang menganggapku aneh. Kesulitan di sekolah, bingung dalam pergaulan, semuanya serasa tembok besar yang tidak bisa kulewati. Aku baru benar-benar bisa berkonsentrasi belajar menulis, membaca, dan berhitung saat usiaku menginjak dua belas tahun. Sebelumnya, aku hanya bisa terperangkap dalam ketidakberdayaan. Rasanya seperti hidup dalam badai, tanpa arah, tanpa pegangan. Dan itu membuatku hancur, benar-benar tenggelam dalam frustrasi dan depresi.

Tapi jangan salah. Di balik semua itu, aku bisa berpikir logis. Mungkin kalian tidak melihatnya, tapi di dalam, pikiranku bekerja dengan cara yang berbeda. Irama berpikirku berantakan, kadang cepat, kadang lambat. Aku tersiksa oleh kekacauan ini, terjebak dalam pikiran yang seakan-akan tidak bisa kukendalikan. Konsentrasi? Fokus? Dua hal yang selalu terasa jauh dari jangkauanku. Aku tak bisa menjelaskan seberapa besar penderitaanku, karena setiap kali aku mencoba, kata-kata seperti hilang ditelan angin.

Dan ya, itulah aku. Aku adalah Disleksia.

Saat usia sembilan tahun, aku didiagnosis dengan disleksia dengan penyerta ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Sebelumnya, ada yang menduga aku autistik, karena aku sering tidak fokus, hiperaktif, dan impulsif. Banyak yang salah paham, mengira disleksia hanya mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis. Tapi sebenarnya, disleksia jauh lebih luas. Ini tentang bagaimana otak memproses informasi, dan bisa memengaruhi ingatan serta keterampilan dalam mengorganisasi pikiran.

Data menunjukkan bahwa disleksia bisa terjadi pada satu dari sepuluh anak sekolah. Itu berarti ada jutaan anak di luar sana yang merasakan hal yang sama sepertiku. Mereka berjuang dalam kesunyian, sering kali tidak dipahami oleh orang-orang di sekitar mereka. Disleksia bukanlah sesuatu yang mudah untuk disembuhkan, tapi bisa dikelola. Penelitian menunjukkan bahwa deteksi dini dan penanganan yang tepat bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seorang anak. Dan inilah aku. Sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, tetapi juga dengan harapan.

Dyslexia Internasional menyatakan pada current statistic 2019, Ketidakmampuan belajar spesifik yang berasal dari neurobiologis, disleksia ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata secara akurat dan/atau lancar, serta kemampuan mengeja dan membaca yang buruk. 

Kesulitan-kesulitan ini biasanya diakibatkan oleh defisit dalam komponen fonologis bahasa yang sering kali tidak terduga dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif lainnya dan penyediaan instruksi kelas yang efektif. Konsekuensi sekundernya dapat berupa masalah dalam pemahaman bacaan dan berkurangnya pengalaman membaca yang dapat menghambat pertumbuhan kosakata dan latar belakang pengetahuan.

Apakah kalian tahu, data menunjukkan bahwa disleksia dapat terjadi pada satu dari sepuluh anak di usia dekolah, atau sekitar sepuluh hingga lima belas persen dari populasi (Shaywitz & Shaywitz, 2007; Vellutino et al., 2004). Namun, angka-angka ini dapat berbeda di setiap negara. Misalnya, di Cina sekitar 8% anak-anak mengalami disleksia di usia sekolah, Malaysia sekitar 7%, AS 17%, dan Australia 16%, menurut penelitian National Institute of Neurogical Disorders and Stroke (Grigorenko, n.d, 2010; Reid, 2016). 

Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia (2010) (Biro Pusat Statistik (BPS), 1987), ada sekitar 24 juta anak-anak berusia 5 hingga 7 tahun. Di usia lima dan tujuh tahun, anak-anak pertama kali belajar membaca. Oleh karena itu, usia ini sangat penting. Dianggap sulit untuk menyembuhkan disleksia ini, tetapi dapat membaik seiring perkembangan anak. Penelitian di negara-negara maju menunjukkan bahwa hasil yang lebih baik diperoleh ketika disleksia dideteksi sejak dini dan ditangani dengan baik (Desiningrum, 2017; Tamasse, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun