23 Agustus 2005
Apalah artinya sebuah perenungan jika ia hanya melibatkan lima indera. Sebab mati akan meniadakan semua indera yang dimiliki manusia. Hal pertama yang dirasakan manusia yang telah mati adalah merasakan apa yang belum pernah dirasakan manusia yang masih hidup. Begitu juga ketika aku mulai untuk mencintai Allah-ku melalui makhluk-Nya, tak perlu lagi lima inderaku karena kenikmatan tertinggi hanyalah perjumpaanku dengan Dia.
Kacau, malam ini aku pandangi langit yang mulai terang, kupandangi bintang kesukaanku. Satu hal yang aku lakukan ketika aku ingat bahwa kematianku akan datang, cepat atau lambat, pasrah. Sebab hidup atau mati hanyalah sebuah kata. Karena keduanya hanyalah milik Allah jua. Aku hidup, aku milik Allah. Aku mati, aku juga milik Allah. Tak ada beda diantara keduanya, yang beda mungkin, sambutan macam apa yang akan aku terima nanti.
28 Agustus 2005
Dalam kehidupan, ada yang datang, ada yang pergi, tapi entah bagaimana caraku menghadapinya. Aku juga tak tahu seperti apa aku nanti setelah kematianku. Perkara itu gaib bagiku. Sebab inderaku yang lemah ini tak mampu mencerapnya, yang dapat aku lakukan sekarang hanyalah memandangi langit malam. Berdoa. Berharap semoga Allah yang sibuk berkenan mendengarkan dan mengabulkan doaku. Jika kematian datang menghampiriku, maka sudilah kiranya Dia memberiku cara terindah. Cara yang membuatku yakin bahwa Dia sedang bermurah hati kepadaku, dan menempatkanku di sisi-Nya kelak dengan cara yang sempurna. Sebab aku tahu bahwa satu-satunya tempat yang paling aman dan nyaman di alam semesta ini memang hanyalah di sisi Allah. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H