--jalan-jalan bersama Wisata Arkeologi Jaladwara--
Menjelang sore di bulan ramadhan, pasar Beringharjo tetaplah semarak ramainya. Saya takjub dengan orang-orang yang bergerak cepat tapi gesit menghindar saat berpapasan dengan orang lain. Saya takjub, entah mengapa ratusan orang lalu lalang tak satupun mereka menjatuhkan barang dagangan.
Berbekal ‘peta kuno’, kami menuju sebuah sudut di pasar Beringharjo untuk mencari satu batu nisan. Di bagian belakang pasar ini dahulu pernah ada pemakaman Belanda. Konon tinggal satu batu nisan yang belum dipindahkan. Setelah bertanya dengan seorang pedangang, kami menjumpai batu nisan itu tergeletak di sebuah sudut.
Johanna Albertina, tertera disitu seorang nama seorang bayi berumur satu tahunan yang wafat tahun 1866. Konon nisan itu berhasil membuat gila orang yang hendak memindahkannya. Maka jadilah ia tetap dibiarkan tergeletak disitu. Entah benar atau tidak, orang mungkin berpikir batu kecil dipojokan itu tak akan sedikitpun mengganggu Beringharjo.
Seorang pembicara seminar yang frustasi pernah berujar bahwa Malioboro itu semak belukar. Malioboro itu tempat aneka hal bercampur tapi sering tidak menjadi satu. Penjaja kamar, kuda yang berak, pedagang yang bersiasat, pelancong yang berputar-putar pada tiang listrik hingga orang-orang terhormat. Untuk benda matinya pun beraneka ragam, deretan rumah-rumah berfasad indis kadang diselingi dengan bangunan modern yang menyembul diatapnya.
Sebagai sebuah jalan, mungkin Malioboro adalah jalan dengan sejarah terpanjang di negeri ini. Dari sebuah jalan kerajaan, tempat tamu kerajaan berparade menuju keraton, hingga menjadi sebuah destinasi wajib karya wisata anak sekolahan. Sore ini kami Wisata Arkeologi Jaladwara menggelar acara jelajah Malioboro yang bertajuk "Mencari Harta Karun di Malioboro". Dengan menggunakan permainan berupa peta, kartu teka-teki dan foto-foto kuno, para peserta diminta menemukenali bangunan atau peninggalan dari masa lalu yang masih ada di kawasan ini.
Di balik kawasan pertokoan, kami menemukan sebuah “oase”. Perumahan dengan taman di bagian tengah. Rumah-rumah dengan halaman yang luas itu konon salah satu perumahan elit di Jogja yang dibangun jaman kolonial. Sembari takjub dengan penemuan itu, kami diceritakan kisah tentang Tan Malaka yang pernah singgah di salah satu rumah di situ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H