Banyuwangi. Kunjungan ini memberikan mereka wawasan mendalam mengenai budaya dan tradisi masyarakat setempat yang kaya akan nilai-nilai leluhur. Salah satu warisan budaya yang masih terjaga dengan baik adalah Tari Gandrung, yang memiliki sejarah panjang di desa ini. Awalnya, tarian ini dilakukan oleh laki-laki untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi pertanian dan kesuburan. Namun, sekitar tahun 1030 Masehi, peran penari mulai beralih kepada perempuan. Saat ini, fungsi Tari Gandrung telah meluas, tidak hanya untuk penghormatan kepada Dewi Sri, tetapi juga menjadi hiburan utama dalam berbagai acara besar di Desa Kemiren, terutama dalam upacara hajat. Tari Gandrung sendiri dibagi ke dalam beberapa babak, yang berlangsung semalam suntuk. Babak pertama adalah Topengan, yang menjadi pembuka dari rangkaian tarian.Â
Pada tanggal 14 Oktober 2024, para mahasiswa KKL BABALI 2024 mengunjungi Desa Adat Osing diSetelah itu, dilanjutkan dengan Jejer Gandrung, babak utama yang bisa berlangsung selama kurang lebih satu jam. Pada babak ketiga, Repenan, penari menerima permintaan lagu dari para tamu, sebelum ditutup dengan Sebelah Subuh, tarian penutup yang berlangsung selama sekitar dua jam dan berfungsi sebagai permohonan maaf dari penari kepada para penonton. Meski dalam perkembangan waktu, kini tari ini dipentaskan oleh perempuan, namun dalam beberapa kesempatan masih ada pertunjukan yang menggantikan pemain perempuan dengan laki-laki.Masyarakat Osing juga sangat menjunjung tinggi adat istiadat lokal, salah satunya adalah aturan Weluri yang wajib dipatuhi oleh setiap warga. Weluri menjadi bentuk penghormatan terhadap adat, dan pelanggarannya dapat berakibat pada sanksi bagi pelakunya. Desa Kemiren memiliki tingkat kejahatan yang sangat rendah, hampir 0%, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan agama telah berhasil menjaga keharmonisan sosial.
 Sebagian besar masyarakat Kemiren, sekitar 90%, beragama Islam, meski beberapa pendatang menganut agama lain. Namun, masyarakat setempat memadukan kepercayaan lama dengan ajaran agama yang dianut, sehingga ada sinkretisme antara budaya lokal dan kepercayaan religius. Tradisi keagamaan ini kerap disertai dengan doa-doa dan persembahan yang melambangkan harapan mereka kepada Tuhan. Selain itu, dalam hal kuliner, Pecel Pitik dianggap sebagai makanan sakral di kalangan masyarakat Osing. Makanan ini terdiri dari ayam bakar yang disajikan dengan parutan kelapa yang telah dilumuri bumbu pecel berbahan dasar kemiri. Pecel Pitik kerap disajikan dalam acara adat Tumpeng Sewu, di mana ayam dianggap sebagai media perantara antara manusia dengan Tuhan. Tumpeng Sewu sendiri adalah perayaan besar di desa ini, di mana masyarakat berdoa dan menyampaikan harapan mereka kepada Tuhan melalui sajian tersebut.Tidak hanya itu, ada juga tradisi membuat Sego Golong, yang merupakan sajian khas sebagai simbol harapan. Sego Golong biasanya disajikan ketika seseorang ingin masuk ke perguruan atau memulai sesuatu yang baru. Sajian ini mengandung makna harapan akan kebaikan dan kesuksesan dalam kehidupan.
 Dalam aspek arsitektur, rumah adat masyarakat Kemiren juga memiliki keunikan tersendiri. Rumah-rumah ini terbagi menjadi beberapa tipe berdasarkan bentuk atapnya, yaitu Tikel Balung dengan empat sisi atap, Basesan dengan tiga sisi, dan Crocogan yang memiliki dua sisi. Rumah adat juga memiliki empat bagian utama, yakni teras, belik (ruang tamu), jrumah (kamar tidur), dan pawon (dapur). Ketika ada tamu yang datang berkunjung, masyarakat setempat menjalankan tradisi Cupuh -- Lungguh -- Suguh, yaitu proses menjamu tamu dengan memberikan tempat duduk, suguhan makanan, dan minuman dengan penuh penghormatan. Keunikan lainnya dari masyarakat Kemiren adalah bagaimana mereka menanggapi mimpi. Mimpi dianggap memiliki makna penting dan sering kali diiringi dengan perayaan atau slametan, sebagai bentuk penghormatan terhadap tanda-tanda yang dipercayai datang dari alam atau dari Tuhan.Sehingga kunjungan ke Desa Adat Osing dapat memberikan gambaran yang luas kepada para mahasiswa KKL BABALI 2024 mengenai kekayaan budaya dan kearifan lokal yang masih terjaga di tengah arus modernisasi. Masyarakat di desa ini terus menjaga tradisi mereka dengan bangga, sambil tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman.Â
Warisan leluhur yang kental dengan nilai-nilai kebersamaan, penghormatan terhadap alam, serta keterkaitan dengan agama dan spiritualitas menjadikan Desa Adat Osing sebagai contoh nyata bagaimana sebuah komunitas dapat hidup harmonis dengan memadukan tradisi dan modernitas.Desa Adat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur, bisa dihubungkan dengan salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 11 yaitu mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Tujuan ini relevan dengan desa adat karena keberlanjutan sebuah komunitas adat seperti Osing perlu memperhatikan berbagai aspek lingkungan, sosial, dan budaya. Pelestarian Budaya Lokal (Target 11 SDGs)
Desa Osing memiliki warisan budaya yang kaya, termasuk bahasa, adat istiadat, dan kesenian yang unik. Pelestarian budaya ini merupakan bagian penting dari tujuan SDGs untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dunia. Upaya ini juga dapat menghindari hilangnya identitas lokal di tengah arus globalisasi.
Perencanaan tata ruang berkelanjutan, komunitas di Desa Osing masih mempertahankan struktur dan tata ruang yang harmonis dengan alam. Hal ini sejalan dengan target untuk mengembangkan kota dan komunitas dengan tata ruang yang ramah lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem lokal, serta mengurangi dampak negatif pembangunan.
Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat Osing hidup berdampingan dengan alam melalui praktik pertanian tradisional yang berkelanjutan, menggunakan sumber daya secara bijaksana. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan ini sangat penting untuk menjaga ketahanan ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang, yang mendukung Tujuan 11.
Pariwisata berkelanjutan
Desa Osing menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang penting. Melalui pariwisata berkelanjutan, desa ini dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal tanpa merusak lingkungan dan budaya. Ini sejalan dengan target SDGs yang mendorong pariwisata sebagai alat untuk pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Infrastruktur dan fasilitas umum yang inklusif mengembangkan infrastruktur yang inklusif dan ramah bagi semua orang, termasuk kelompok rentan di komunitas adat, adalah bagian dari SDGs. Di Desa Osing, hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi, yang semuanya penting untuk mencapai tujuan keberlanjutan.
Penguatan komunitas melalui partisipasi masyarakat
komunitas adat seperti Osing memiliki struktur sosial yang kuat dengan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Ini sangat terkait dengan pencapaian SDGs melalui partisipasi komunitas dalam perencanaan pembangunan, pemeliharaan lingkungan, dan pengelolaan sumber daya lokal secara mandiri. Bisa kami simpulkan terkait explore Desa Adat Osing, desa tersebut dapat menjadi contoh bagaimana komunitas lokal dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan SDGs, terutama dalam konteks pelestarian budaya, pengelolaan lingkungan, dan keberlanjutan komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H