Mahkamah Konstitusi atau biasanya disingkat MK adalah lembaga peradilan di Indonesia yang berfungsi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, memberikan putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menjamin supremasi konstitusi, menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum, serta melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Nah di sini kita akan membahas dinamika putusan Mahkamah Konstitusi terhadap politik serta kepercayaan masyarakat di Indonesia.Â
Di suatu webibinar konstitusi yang ber tajuk "Dinamika Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengaruhnya terhadap Kepercayaan Masyarakat" menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat erga omnes yang artinya satu kali putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan khususnya mengenai judicial review, berlaku dan mengikat organ-organ negara, DPR, Presiden, dan semua lembaga negara, serta mengikat semua warga negara. Jadi semua rakyat harus hormat dan tunduk akan putusan Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang warga negara. Dengan hal ini dapat berdampak pada Presiden, DPR atau semua lembaga negara. Ditegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mulai berlaku sejak putusan itu di ucapkan.Â
Jika ada orang yang berpandangan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu harus ditindaklanjuti dulu dengan perubahan undang-undang oleh DPR, maka suatu saat putusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi macan ompong, sebab ketika DPR tidak mengubah UU atau membuatkan norma baru ketika ada norma yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak berguna dan tidak ada apa-apa. Putusan Mahkamah Konstitusi yang belum dicatatkan dalam Berita Negara tetapi apakah putusan itu sudah berlaku atau tidak, di katakan bahwa ketika diucapkan dan diketuk palu, putusan Mahkamah Konstitusi berlaku walaupun lupa dicatatkan dalam Berita Negara.
Tak hanya itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat self-executing yang berarti dapat dilaksanakan secara langsung tanpa memerlukan prosedur eksekusi tambahan. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku sejak putusan itu di ucapkan, karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak memerlukan perangkat tambahan seperti penyerahan pada pihak yang berwenang.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membahas tentang Pemilihan Umum, khususnya terkait dengan batas minimal usia untuk calon presiden dan wakil presiden. Perubahan yang dihasilkan dari keputusan ini membawa dampak signifikan terhadap reputasi Mahkamah Konstitusi serta tatanan hukum di Indonesia. Keputusan tersebut tak hanya mempengaruhi proses pemilu, namun juga mempertegas peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga keadilan dan kesesuaian hukum dengan konstitusi.Menurut seorang peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Mahkamah Konstitusi lebih memihak kepentingan DPR dan Pemerintah. Hal ini telah tercermin bahwasanya Mahkamah Konstitusi tidak menjalankan tugasnya serta mengabaikan perannya sebagai Lembaga Yudikatif yang seharusnya menjalankan fungsi check dan balance. Yang artinya Mahkamah Konstitusi tidak lagi bertindak sebagai pengawas yang independen, melainkan lebih seperti pelaksana dari kehendak legislatif dan eksekutif. Mahkamah Konstitusi telah melepas jati dirinya, membuat kekhawatiran timbul tentang erosi fungsi pengawasan dan sistem pemerintahan.Â
Mahkamah Konstitusi terlihat seperti instrumen politik yang dimanfaatkan oleh DPR dan Presiden hanya untuk mempercepat perubahan undang-undang secara efektif. Proses ini tampaknya mengabaikan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan yang seharusnya menjadi bagian integral dari demokrasi. Fungsi Mahkamah Konstitusi yang ideal itu adalah sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara dipertanyakan dan menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan penting dapat dibuat tanpa konsultasi publik yang memadai dan mengarah pada praktik-praktik yang lebih otoriter dan kurang transparan dalam pemerintahan. Sistem demokrasi membutuhkan aturan hukum untuk mencegah dominasi pihak tertentu. Aturan-aturan yang berfungsi sebagai penghalang dan penyeimbang agar tidak ada kekuasaan yang berlebihan yang dapat merugikan pihak lain. Dengan adanya hukum yang adil, sistem demokrasi dapat menjaga agar semua pihak memiliki kesempatan yang setara dalam berpartisipasi dan berkontribusi tanpa rasa takut akan penindasan atau perlakuan tidak adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi harus menerapkan teori Gustav Radbruch. Yaitu, proses pengadilan hakim dituntut untuk mempertimbangkan tiga hal; kepastian hukum, kemanfaatan, serta keadilan. Sebab kepastian hukum mengacu pada kejelasan dan stabilitas dalam penerapan hukum. Sedangkan kemanfaatan mencangkup keputusan yang akan di ambil dalam masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat. Keadilan di sini mencangkup aspek moral dan etika, serta untuk memenuhi hasil akhir dalam suatu perkara.
Meskipun mengatur batas minimal usia untuk calon presiden dan wakil presiden, putusan Mahkamah Konstitusi tidak menghambat interpretasi yang lebih luas terkait syarat-syarat kelayakan untuk mencalonkan diri. Menentukan siapa yang dapat mencalonkan diri, menjadi faktor utama pertimbangan terhadap kelayakan dan kapasitas seseorang. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mencerminkan upaya bahwa proses demokratisasi tidak terbatas oleh usia, melainkan mengutamakan merit dan potensi kontribusi seseorang terhadap kepemimpinan negara. Tah hanya itu, Mahkamah Konstitusi juga memberikan kesempatan kepada generasi milenial atau generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan, termasuk pencalonan presiden. Hal ini menjadi pendorong inovasi dan representasi lebih luas dalam tatanan kepemimpinan nasional.Â
Namun kenyataannya, Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan beberapa permasalahan kompleks yang melibatkan hukum, politik, dan sosial. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap telah berdampak negatif terhadap proses demokrasi di Indonesia. Keputusan ini memberikan kesempatan para pemimpin eksekutif untuk memanfaatkan popularitas mereka guna mendorong kebijakan atau undang-undang yang potensial merusak demokrasi dan mengganggu keseimbangan kekuasaan. Perlu adanya upaya nyata untuk memperkuat lagi konstitusionalisme dan melibatkan aktif masyarakat sipil dalam memperbaiki kualitas hukum di Indonesia untuk mencegah kerusakan demokrasi yang terus berkelanjutan.Â
Mahkamah Konstitusi harus lebih responsif terhadap kritik yang berasal dari masyarakat dan pihak lain. Mahkamah Konstitusi juga harus lebih meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan di masa depan. Responsivitas ini bisa ditangani dengan menjawab tegas pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh publik.Â