Mohon tunggu...
Gus Imam
Gus Imam Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan

Saya adalah seorang hamba Allah yang berusaha dan ingin selalu berada di atas Al Haq (kebenaran), yang mempelajari islam di atas pemahaman para shahabat radhiyallahu'anhum dan mencoba istiqomah di atasnya. Insya allah bi'idznillah. Allah telah berfirman : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. AT TAUBAH : 100). Wallohu a'lamu bish showab

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Rencana Kenaikan Gaji Guru: Menyikapi Budaya Konsumerisme di Kalangan Pendidik Negeri

29 November 2024   12:50 Diperbarui: 29 November 2024   12:50 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : GUS IMAM (Ketua Komisi Nasional Pendidikan Kabupaten Magetan)

Kabar kenaikan gaji guru ASN dan honorer yang diumumkan di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto seharusnya menjadi sinyal positif bagi peningkatan kesejahteraan pendidik sebagai garda terdepan pembangunan bangsa. Namun, di balik euforia tersebut, muncul fenomena yang mencerminkan wajah lain dari budaya kita: banyak guru yang justru menggunakan kenaikan gaji ini untuk menambah utang di bank, demi memenuhi gaya hidup konsumtif. Fenomena ini bukan lagi rahasia. Di balik label "pengabdi negeri," tersembunyi kenyataan bahwa budaya konsumtif telah mengikis nilai-nilai kesederhanaan yang dulu menjadi ciri khas profesi pendidik.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT mengingatkan kita, "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra [17]: 27). Ayat ini memberikan peringatan jelas bahwa gaya hidup boros tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengelolaan spiritual. Ironisnya, di tengah kenaikan gaji yang seharusnya memberikan ruang untuk menabung atau berinvestasi demi masa depan, banyak guru yang terjebak dalam siklus kredit konsumtif. Alih-alih memperbaiki kondisi ekonomi, keputusan ini justru menambah beban jangka panjang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menegaskan dalam sebuah wawancara, "Kenaikan gaji bukan sekadar penghargaan, tetapi juga amanah. Jika tidak dikelola dengan bijak, ia akan berubah menjadi jebakan yang memperburuk kualitas hidup." Pernyataan ini sejalan dengan fakta di lapangan: kenaikan pendapatan sering kali tidak diiringi dengan peningkatan literasi keuangan. Tanpa kesadaran akan pengelolaan yang bijaksana, kenaikan gaji hanya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan semu dan memperdalam ketergantungan pada kredit.

Dalam dunia pendidikan, guru memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menjadi teladan bagi generasi muda. Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menulis, "Seorang guru adalah mercusuar bagi muridnya, dan kehormatan seorang guru terletak pada keikhlasannya, bukan pada kemewahan hidupnya." Namun, bagaimana mungkin guru dapat menjadi teladan ketika mereka sendiri terperangkap dalam pola hidup yang mengedepankan gengsi dan pengakuan sosial? Semangat hidup sederhana, yang dulu menjadi ruh profesi pendidik, kini tergeser oleh hasrat untuk "terlihat sukses" di mata masyarakat.

Presiden Prabowo Subianto, dalam salah satu pidatonya, menekankan pentingnya membangun karakter bangsa melalui profesi pendidik. "Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk peradaban. Apa yang mereka lakukan mencerminkan nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi berikutnya," ujarnya. Pesan ini mengingatkan kita bahwa kenaikan gaji harus dipahami sebagai alat untuk memperkuat misi pendidikan, bukan sekadar peluang untuk memenuhi keinginan duniawi.

Namun, realitas menunjukkan bahwa budaya konsumtif telah merasuk begitu dalam. Saat kenaikan gaji diumumkan, banyak guru yang langsung merencanakan untuk memperbarui gadget, membeli kendaraan baru, atau merenovasi rumah, meskipun menggunakan fasilitas kredit. Alih-alih menjadi simbol kesejahteraan, gaya hidup ini sering kali menjadi sumber stres baru akibat beban utang yang terus meningkat. Seharusnya, kenaikan gaji menjadi momentum untuk memperkuat posisi finansial dan membangun ketahanan ekonomi keluarga guru.

Solusi atas masalah ini tidak cukup hanya berupa kenaikan gaji. Pemerintah harus mengintegrasikan program literasi keuangan dalam kebijakan penggajian. Edukasi tentang pengelolaan keuangan, investasi jangka panjang, dan bahaya konsumtif perlu menjadi bagian dari pelatihan bagi ASN dan honorer. Dalam tradisi Islam, hidup hemat dan bersahaja adalah bagian dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang bersabda, "Harta yang paling baik adalah yang berada di tangan orang yang bertakwa." (HR. Bukhari). Pesan ini menegaskan bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada jumlah pendapatan, tetapi pada cara seseorang memanfaatkannya untuk kebaikan.

Budaya hidup sederhana harus dikembalikan menjadi norma sosial di kalangan guru. Dalam tradisi Jawa, nilai "narimo ing pandum" mengajarkan untuk menerima apa yang dimiliki dengan syukur, tanpa obsesi untuk terlihat lebih dari orang lain. Konsep ini relevan untuk melawan arus kapitalisme yang terus menggoda melalui iklan, media sosial, dan norma konsumtif modern. Jika guru sebagai pendidik bangsa dapat menginternalisasi nilai ini, mereka akan mampu menjadi panutan sejati bagi generasi muda, sekaligus membangun ketahanan moral yang lebih kuat dalam menghadapi godaan materialisme.

Kenaikan gaji adalah peluang, tetapi juga tantangan besar. Ia mencerminkan harapan pemerintah terhadap guru sebagai agen perubahan. Namun, jika tidak diimbangi dengan kesadaran diri dan kebijakan pendukung, kenaikan ini hanya akan menjadi alat pemicu kesenjangan sosial baru di masyarakat. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik. Guru harus memimpin, bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam memperlihatkan gaya hidup yang bermartabat, sederhana, dan berorientasi pada keberlanjutan. Sebuah bangsa besar membutuhkan guru yang tidak hanya kaya secara materi, tetapi juga kaya dalam nilai dan integritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun