Oleh : GUS IMAM (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)Â
Kebahagiaan adalah narasi abadi yang menggetarkan hati setiap manusia. Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi yang kian mengaburkan batas-batas budaya, kebahagiaan sering kali menjadi ilusi. Ia dikaitkan dengan gemerlap kapitalisme; istana-istana mewah, mobil-mobil eksotis, serta gaya hidup yang sarat dengan konsumerisme. Namun, sejatinya, kebahagiaan tidak bersemayam di sana. Dalam realitas yang semakin terpolarisasi, kita perlu merekonstruksi makna kebahagiaan melalui lensa spiritualitas yang lebih otentik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan, "Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..." (QS. An-Nahl: 96-97). Ayat ini membongkar paradigma modern yang menjadikan kebahagiaan sebagai komoditas semu. Sebaliknya, kebahagiaan sejati adalah hasil dari ketenangan jiwa, keikhlasan hati menerima takdir, dan keseimbangan antara usaha dan tawakal.
Para salafush shalih, seperti Sa'id bin Musayyib dan Imam Ahmad bin Hanbal, memberikan contoh nyata bahwa kebahagiaan bukanlah fungsi dari kuantitas materi. Imam Bukhari, dengan karya shahihnya, menemukan kepuasan dalam kontribusi intelektual. Hasan al-Bashri, melalui kejujurannya, menunjukkan bahwa integritas moral lebih bernilai daripada tumpukan kekayaan. Sebagaimana firman Allah, "Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka... Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS. Thaha: 131).
Namun, dalam keriuhan materialisme, dunia sering kali menjadi jebakan yang melahirkan kehampaan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Dunia itu terlaknat, dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah, orang-orang yang mengikuti dzikir, serta orang yang mengajarkan dan mempelajari ilmu." (HR. Ibnu Majah). Pernyataan ini menegaskan bahwa dunia hanyalah ujian sementara, sementara kebahagiaan abadi terletak pada hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.
Sejarah mencatat, Rasulullah menjalani kehidupan dengan kesederhanaan yang memukau. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, melihat bekas tikar pelepah kurma di punggung Nabi, menangis seraya berkata, "Wahai Rasulullah, Kisra Persia dan Kaisar Romawi hidup dalam kemewahan, sedangkan engkau, seorang Rasul, dalam keadaan seperti ini?" Rasulullah menjawab dengan penuh ketegasan, "Tidakkah kamu rela mereka mendapatkan dunia sedangkan bagian kita ada di akhirat?" Jawaban ini menghentak logika materialisme yang mendominasi peradaban modern.
Peradaban yang dikuasai algoritma kecerdasan buatan (AI) dan big data sering kali menyingkirkan dimensi spiritual. Manusia, terjebak dalam ekosistem yang digerakkan oleh dopamin loops, mengejar validasi sosial di media digital, namun kehilangan esensi keberadaan. Padahal, kebahagiaan yang hakiki tidak dapat diukur melalui likes atau shares, melainkan melalui hubungan yang tulus dengan Allah dan manusia. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari).
Revolusi spiritual ini harus dimulai dari individu. Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki visi moral dan keberanian untuk mendefinisikan ulang kebahagiaan. Utbah bin Ghazwan radhiyallahu 'anhu pernah berkata, "Kami hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam keadaan kekurangan, namun hati kami selalu penuh dengan kedamaian." Ucapan ini menjadi manifestasi nyata bahwa kebahagiaan bukan tentang apa yang dimiliki, tetapi tentang bagaimana kita merespon apa yang Allah takdirkan.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, inilah saatnya kita melakukan transformasi sosial. Dalam era yang dipenuhi dengan distraksi, mari kembali kepada nilai-nilai transendental yang diajarkan oleh Islam. Kebahagiaan bukanlah proyek individual semata, tetapi juga misi kolektif. Sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya Kami-lah yang mewarisi bumi dan semua yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami mereka dikembalikan." (QS. Maryam: 40).
Kita membutuhkan gerakan sosial-politik yang mendobrak hegemoni materialisme. Kebahagiaan sejati harus menjadi narasi yang membebaskan, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas. Sebagaimana Bilal bin Rabbah, Salman al-Farisi, dan Ammar bin Yasir menjadi simbol perjuangan melawan kezaliman, kita pun harus menjadi generasi yang memperjuangkan kebahagiaan berbasis keadilan, kesetaraan, dan keimanan.