Dalam pusaran sejarah panjang Indonesia, pertanyaan mengapa negeri ini terjajah selama ratusan tahun kerap menjadi refleksi pahit yang terus berulang dalam bentuk baru. Penjajahan klasik oleh bangsa asing di masa lalu tak semata-mata dipicu oleh superioritas militer penjajah, tetapi juga karena mentalitas anak bangsa yang lemah, mudah tergoda, dan gagal mengelola sumber daya serta kekuatan kolektifnya. Fenomena ini, dalam terminologi kontemporer, dapat disebut sebagai mental dependency syndrome---mentalitas ketergantungan yang menjadikan sebagian besar bangsa mudah dikendalikan oleh kepentingan asing.
Ketika metafora "anjing dan daging" dihadirkan, ia membawa pesan provokatif: ada elemen bangsa yang rela menjual integritas demi kepentingan material sesaat. Daging-daging itu kini bukan hanya sekadar simbol, tetapi hadir nyata dalam bentuk uang, jabatan, dan fasilitas mewah. Mereka yang mestinya berdiri sebagai penjaga kedaulatan justru menjadi kaki tangan kolonial gaya baru, yang tidak lagi datang dengan meriam dan kapal perang, melainkan dengan strategi ekonomi, politik, dan teknologi.
Kasus-kasus seperti penguasaan Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Rempang adalah cerminan bagaimana penjajahan modern tidak hanya beroperasi melalui korporasi global, tetapi juga melalui elemen lokal yang mengkhianati bangsanya sendiri. Di balik laju modernisasi dan pembangunan, kepemilikan aset strategis bangsa ini secara perlahan berpindah ke tangan-tangan asing. Ironisnya, proses ini terjadi dengan persetujuan---atau bahkan kolaborasi---dari anak bangsa yang mestinya menjadi benteng pertahanan.
Fenomena ini bukanlah fiksi, tetapi fakta yang terbentang jelas di depan mata. Penjajahan modern ini juga menunjukkan pergeseran strategi penjajah yang lebih halus namun mematikan: menggunakan elit lokal sebagai proxy, atau perpanjangan tangan mereka. Dengan memanfaatkan perbedaan kelas, kesenjangan ekonomi, dan lemahnya pendidikan politik masyarakat, penjajahan gaya baru ini menjadi lebih efektif dalam melanggengkan dominasi.
Namun, apakah solusi melawan penjajahan ini semudah meneriakkan kemarahan? Tidak. Dalam era globalisasi dan kapitalisme yang semakin terkonsolidasi, melawan penjajahan membutuhkan konsolidasi yang lebih cerdas dan strategis. Ada tiga langkah utama yang harus diambil:
1. Revolusi Mental Kolektif
Mentalitas konsumtif, serakah, dan egois harus digantikan dengan kesadaran kolektif yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Pendidikan karakter harus menjadi tulang punggung, dengan menanamkan nilai-nilai integritas, keberanian, dan solidaritas sejak dini.
2. Penguatan Ekonomi Lokal dan Kedaulatan Ekonomi
Selama ekonomi bangsa ini tetap bergantung pada modal asing, penjajahan hanya akan menjadi siklus tanpa akhir. Pemerintah dan masyarakat harus mendukung penguatan sektor-sektor strategis seperti agrikultur, energi, dan teknologi. Perlu langkah konkret untuk memprioritaskan produk lokal dan memutus ketergantungan terhadap investasi asing yang merugikan.
3. Mobilisasi Gerakan Sosial Politik